Ulama Perempuan Serukan untuk Tidak Politisasi Agama
Oleh
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Maraknya kebebasan berpendapat secara digital membuat Indonesia rentan dengan ujaran kebencian dan hoaks selama tahun politik. Jaringan Ulama Perempuan Indonesia menyerukan agar kontestan pilkada 2018 serta Pileg dan Pilpres 2019 pantang melakukan politisasi agama agar tidak semakin memecah belah bangsa.
Jaringan Ulama Perempuan Indonesia terdiri atas 138 ulama dan merupakan perkumpulan nonstruktural dari penyelenggara Kongres Ulama Perempuan Indonesia.
Kongres itu merupakan pertemuan perempuan ulama pertama di Indonesia yang diselenggarakan pada 25-27 April 2017 di Cirebon, Jawa Barat. Basis pemikiran perkumpulan itu adalah kebangsaan, kemanusiaan, keislaman, dan kesemestaan.
”Fenomena kasus penyerangan tokoh agama beberapa waktu lalu menjadi keprihatinan kami. Semoga bangsa Indonesia tetap menjaga persatuan dan kesatuan memasuki tahun politik,” ujar Pemimpin Pondok Pesantren Mahasina Darul Qur’an wal Hadis, Pondok Gede, Bekasi, Badriyah Fayumi, dalam konferensi pers ”Seruan Moral Jaringan Ulama Perempuan Indonesia untuk Menjaga Keutuhan Bangsa Indonesia” di Jakarta, Kamis (1/3).
Pimpinan Pusat Nasyiatul Aisyiyah, perempuan aktivis, dan dosen Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (UHAMKA) Jakarta, Yulianti Muthmainnah, ketika membacakan pernyataan Jaringan Ulama Perempuan Indonesia menyatakan, Jaringan Ulama Perempuan Indonesia mengimbau kontestan dan simpatisan pemilu untuk tidak menyalahgunakan agama untuk kepentingan politik.
Dalam buku Catatan Politik oleh Denny JA tahun 2006, politisasi agama adalah memanipulasi sentimen agama dalam upaya meraih kekuatan dan kekuasaan.
”Pemerintah dan aparat penegak hukum juga harus tegas terhadap pelanggaran yang dilakukan,” katanya.
Perkumpulan itu juga berharap, seluruh bangsa menjaga kearifan lokal yang dimiliki Indonesia. Adapun pertemuan lintas suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) harus terus dilakukan.
Berdasarkan pemberitaan Kompas, 16 Maret 2017, jumlah konflik terkait SARA di Indonesia sepanjang tahun 2015-2016 mencapai 1.568 kejadian. Menyusul di bawahnya konflik yang melibatkan massa dalam kelompok besar sebanyak 1.060 kasus. (DD13)