JAKARTA, KOMPAS—Sebanyak delapan orang kepala daerah ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena kasus suap, selama Januari-Februari 2018. Di Garut, dua orang penyelenggara ikut terjerat kasus serupa dalam dugaan pelolosan pasangan calon. Hal ini menunjukkan lemahnya integritas baik dari kontestan maupun penyelenggara dalam Pilkada Serentak 2018.
“Ini menjadi benang merah tentang proses yang terjadi selama ini. Kontestan dan penyelenggara sama-sama bermasalah,” kata Adelline Syahda, Peneliti dari Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif (Kode Inisiatif), dalam diskusi yang digelar oleh Indonesia Corruption Watch (ICW), di Jakarta, Jumat (2/3). Diskusi itu turut menghadirkan Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW Donal Fariz dan Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil.
Saat ini, ada empat orang calon kepala daerah yang menyandang status sebagai tersangka korupsi. Mereka adalah Bupati Ngada Marianus Sae, Bupati Jombang Nyono Wihandoko, Bupati Subang Imas Aryumningsih, dan Calon Gubernur Sulawesi Tenggara Asrun.
Namun, nama-nama itu juga masih menyandang status sebagai calon kepala daerah meski berstatus sebagai tahanan. Hal tersebut dikritisi oleh Fadli. “Seharusnya, ada mekanisme yang membuat seorang calon kepala daerah yang terjerat kasus korupsi ini didiskualifikasi dan diajukan calon baru. Saat ini, tidak ada mekanisme seperti itu,” kata Fadli.
Hal yang dikhawatirkan oleh Fadli adalah apabila nanti calon-calon yang menyandang status sebagai tersangka itu memenangkan pilkada. “Ini adalah pendidikan politik yang tidak rasional. Bagaimana bisa seorang tersangka korupsi tetap melenggang dalam pilkada?” ujar Fadli.
“Lebih memalukan lagi jika calon kepala daerah yang juga tersangka itu menang dalam pilkada. Dia harus dilantik dulu, diberhentikan sementara, baru dicari penggantinya. Itu suatu hal yang konyol,” kata Fadli.
Terkait hal itu, Donal mengatakan, banyaknya calon kepala daerah yang melakukan tindak korupsi karena biaya politik yang tinggi. “Ada realitas bahwa calon kepala daerah dimintai biaya untuk kampanye oleh partai politik dan biayanya sangat tinggi,” kata Donal.
Namun, Donal menilai, partai politik pengusung calon terkesan lepas tangan ketika pasangan calonnya terjerat kasus korupsi. Ia beranggapan, harus ada sanksi administrasi untuk partai politik utama pengusung pasangan calon agar tidak bisa mengajukan calon lagi pada pilkada selanjutnya.
Sanksi administrasi kepada partai politik, menurut Donal, mampu mengantisipasi terjadinya tindak korupsi yang dilakukan oleh pasangan calon dan menjaga integrasi dari pasangan calon tersebut. “Ini bisa membuat partai lebih berhati-hati memilih pasangan calonnya. Selama ini, perekrutan pasangan calon itu masih sangat tertutup dan tak diketahui publik kriterianya,” kata Donal.
Integritas penyelenggara
Kasus ditangkapnya anggota KPU dan Ketua Panitia Pengurus Pemilu Garut bukan kejadian pertama yang mencoreng integritas penyelenggara pilkada. Dari 2010-2017, ICW menemukan ada 72 kasus yang melibatkan penyelenggara pemilu.
Modus korupsinya pun beragam. Mulai dari penggelapan, penyalahgunaan anggaran, pemotongan anggaran, dan lain sebagainya. Yang paling sering dilakukan adalah penggelapan anggaran dengan catatan 19 kasus.
Dalam waktu tujuh tahun itu, sebanyak 57 komisioner Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) dan Badan Pengawas Pemilu atau Panitia Pengawas Pemilu menjadi tersangka. Hal ini menimbulkan pertanyaan di mata publik tentang integritas dari penyelenggara pemilu.
“Integritas penyelenggara ini sebenarnya sangat penting. Tanpa penyelenggara yang berintegritas, bisa dipastikan kepala daerah yang terpilih diragukan pula integritasnya,” kata Donal.
Dengan terjadinya kasus Garut dan serangkaian peristiwa sebelumnya, Donal mempertanyakan soal proses seleksi anggota penyelenggara atau komisioner. Ia merasa, selama ini, publik kurang dilibatkan dalam proses itu.
“Hal itu harus dilakukan supaya masyarakat ikut menjadi pengawas apabila ada calon komisioner yang memang memiliki preferensi politik tersendiri,” kata Donal. (DD16)