Simpul Persaudaraan dari Alam
Sekitar 200 keluarga tinggal di Kampung Wasur 1 yang berada di Merauke, Papua. Kampung yang dikelilingi hutan yang masuk area Taman Nasional Wasur ini menjadi salah satu tempat tinggal suku Marind, suku asli terbesar di Merauke.
Tinggal di kawasan hutan dan hidup dari apa yang ada di hutan telah dilakoni turun-temurun oleh orang-orang Marind. Bahkan, leluhur orang Marind menjadikan sejumlah flora (khususnya sumber makanan yang penting) dan fauna di dalam hutan sebagai totem dari setiap marga karena diyakini memiliki korelasi dengan leluhur suatu marga.
Kepala Kampung Wasur Tobias Gebze, akhir Januari lalu, menunjuk pohon kelapa yang tidak jauh dari rumahnya sebagai totem dari marganya, yaitu Gebze. Dia juga menunjuk tanaman sagu yang adalah totem dari marga Mahuze. Selain itu, ada pula kanguru yang menjadi totem marga Saham, burung kasuari totem marga Kaize, dan burung elang totem marga Balagaize.
Sejumlah nama marga di atas adalah nama marga suku Marind. ”Semua marga memiliki totem masing-masing dan semuanya dari hewan atau tumbuhan yang ada di hutan,” kata Tobias.
Dengan hewan dan tumbuhan sebagai totem, orang Marind menjaga agar flora dan fauna itu tetap lestari. Sebab, jika sampai punah, maka punah pula eksistensi mereka. ”Jika warga membutuhkan hewan atau tumbuhan yang menjadi totem, pengambilannya dibatasi,” ujar Tobias.
Ia menambahkan, bahkan dalam proses pengambilan, ada tata cara tertentu sebagai penghormatan kepada totem dan marga yang memiliki totem.
Buah kelapa, misalnya. Tidak bisa asal dipotong untuk mengambil airnya. Buah kelapa harus dikuliti terlebih dahulu. Kemudian, jika kelapa yang diambil melebihi kebutuhan, buah yang telanjur dipetik tersebut tidak bisa dibiarkan begitu saja. Kelapa yang tidak terpakai harus dibersihkan, dengan cara dikumpulkan menjadi satu lalu dibakar. ”Jika aturan-aturan itu dilanggar, ada sanksi adat yang akan dijatuhkan kepada pelakunya,” ucap Tobias.
Jenis sanksi ditentukan dalam pertemuan tokoh-tokoh adat. Biasanya, sanksi yang dijatuhkan harus memberikan minuman dari tanaman wati, tanaman yang disakralkan oleh orang Marind.
Manusia sejati
Menurut Benjamin Kaize, salah satu tokoh pemuda Marind, cara suku Marind menjaga kelestarian hutan serta memperlakukan hewan dan tumbuhan totem menjadi gambaran orang Marind dalam menjalin relasi dengan sesama Marind, sekalipun berbeda marga, dan dengan manusia lain pada umumnya.
”Relasi mengedepankan saling menghormati, toleransi, gotong royong, dan saling menjaga satu sama lain,” katanya.
Menurut Benjamin, orang Marind percaya dirinya adalah Animha atau manusia sejati. Sebagai Animha, manusia Marind harus jadi teladan dan membawa kesejukan bagi semua suku di Merauke. ”Jadi, kami tak pernah keberatan dengan orang dari luar Marind yang masuk dan tinggal di Merauke. Kami menghormati mereka, apa pun suku, agama, atau ras mereka,” ujarnya.
Respek ini kemudian dibalas respek serupa dari masyarakat lain di luar Marind terhadap orang Marind dan budayanya.
Kondisi ini, menurut Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama Merauke Pastor Miller Senduk, menjadikan Merauke tidak seperti daerah lain di Papua yang sering diusik perbedaan suku, agama, ras, atau pilihan politik ketika pilkada atau pemilu.
Namun, bukan berarti tidak ada masalah sama sekali di Merauke. Masalah yang berpotensi menjadi konflik, menurut Miller, juga kerap muncul. Namun, ketika masalah muncul, tokoh agama, adat, ataupun orang-orang yang dituakan dari suku lain segera bertemu untuk mencari solusi dari persoalan yang muncul.
Apabila masalah antarmarga muncul di Marind, Ketua Lembaga Masyarakat Adat Merauke Frederikus Wanim Mahuze mengatakan, tokoh-tokoh adat memiliki mekanisme untuk menyelesaikannya.
Mereka biasanya membahas masalah itu dalam pertemuan adat. Setelah masalah terpecahkan, mereka bersama-sama makan sagu sep, makanan tradisional Merauke yang terbuat dari sagu dicampur daging sapi atau babi dan dimasak di atas bebatuan yang membara atau dikenal sebagai bakar batu. ”Setelah itu, pihak-pihak yang berselisih berdamai, tak ada lagi permusuhan,” katanya menambahkan.
Persaudaraan Papua
Budi Asyhari Afwan dalam bukunya Mutiara Terpendam Papua menyebutkan, orang Papua punya kesamaan pandangan dalam beberapa hal. Salah satunya, mereka sama-sama memaknai alam sebagai bagian tidak terpisahkan dari kehidupan. Mereka pun menjaga alam seperti menjaga diri mereka sendiri.
Kesamaan lainnya ada di nilai persaudaraan. Jika kehadiran seseorang berhasil memunculkan rasa empati, orang Papua akan mengakuinya sebagai saudara. Jika sudah demikian, interaksi dan komunikasi didasarkan saling percaya dan jujur.
Papua juga memiliki warisan kebudayaan untuk menjaga persaudaraan. Salah satunya, tradisi bakar batu.
Di beberapa daerah, bakar batu bahkan mengalami kontekstualisasi. Wamena yang masyarakatnya relatif punya latar belakang beragam, misalnya, menu bakar batu diganti ayam dan sapi, selain babi. Ini menandakan tradisi itu tidak hanya untuk melupakan tragedi atau konflik. Bakar batu juga menjadi media untuk membangun toleransi.
Semua hal itu, masih menurut Budi, sesungguhnya menjadi modal kuat untuk meneguhkan perdamaian di Papua.
Kedamaian ini setidaknya akan kembali diuji saat Pilkada 2018. Di Papua, Pilkada 2018 digelar untuk memilih gubernur Papua, serta bupati/wali kota untuk tujuh daerah.
Selama ini, pilkada di Papua sering diwarnai kekerasan. Ketika Pilkada 2017, konflik terjadi di Kabupaten Puncak Jaya dan Intan Jaya. Pada 2010-2014, konflik pilkada juga terjadi di daerah Puncak Jaya, Yahukimo, Lanny Jaya, Tolikara, Dogiyai, dan Jayawijaya, sedikitnya 71 orang tewas.
Terkait kekerasan yang beberapa kali terjadi dalam pilkada di Papua, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini mendorong para pemangku kepentingan di daerah itu untuk mengintensifkan langkah preventif dan mencoba cara baru untuk mencegah terulangnya konflik. Sebagai contoh, pemanfaatan budaya lokal untuk merekatkan tali persaudaraan atau melakukan pendidikan politik.
(A Ponco Anggoro/Andy Riza Hidayat)