JAKARTA, KOMPAS — Komite Kebijakan Industri Pertahanan tetap mendorong keterlibatan industri nasional swasta dalam pengadaan alat pertahanan dan keamanan. Keterlibatan pihak swasta itu telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan.
Ketua Tim Pelaksana Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) Laksamana (Purn) TNI Sumardjono, Jumat (2/3), di Jakarta, mengatakan, dalam UU No 16/2012 disebutkan bahwa industri pertahanan dibagi dalam empat tingkat. Tingkat pertama adalah industri alat utama yang berfungsi sebagai pemadu utama, ditetapkan untuk dipegang oleh badan usaha milik negara. Tiga tingkat berikutnya terkait dengan komponen dibebaskan, dan dalam hal ini dapat melibatkan BUMN ataupun swasta.
Said Didu, Ketua Perencanaan KKIP, mengatakan, rezim yang dianut oleh UU Industri Pertahanan adalah pembagian peran antara BUMN dan swasta nasional diatur oleh negara. Model yang juga diambil oleh negara-negara berkembang agar industri pertahanannya bisa berkembang. ”Tidak ada persaingan bebas dalam industri pertahanan di negara mana pun,” katanya.
Pertimbangan keamanan dan pertimbangan kesinambungan, lanjut Said, membuat BUMN harus tetap menjadi pemadu utama dalam industri pertahanan. ”Saya dengar ada pihak yang ingin melakukan uji materi. Menurut saya, itu bagus saja. Kita buktikan nasionalisme semua pihak. Bedakan produksi di Indonesia dan betul-betul produksi Indonesia,” kata Said.
Jan Pieter Ate, Ketua Harian Industri Pertahanan Swasta Nasional (Pinhantanas), membenarkan, dalam UU Industri Pertahanan memang disebutkan bahwa BUMN menjadi pemadu utama. “Ini pasal yang diskriminatif,” tandasnya.
Menurut Jan Pieter, seharusnya yang bisa menjadi pemadu utama adalah mereka yang paling menguasai teknologi. Oleh karena itu, lebih tepat kalau pemadu utama ditentukan oleh pemerintah sesuai dengan proyek yang ada. ”Jadi, tidak harus terus BUMN, tetapi bisa berganti-ganti. KKIP bikin klasifikasi, mana industri pertahanan swasta yang bagus dan mana yang tidak,” kata Jan Pieter. (EDN)