JAKARTA, KOMPAS — Sikap tegas Presiden Joko Widodo untuk mengakhiri polemik terkait dengan hasil revisi Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD hasil revisi amat dinanti. Jika memang tidak setuju dan ingin mengoreksi sejumlah pasal kontroversial di aturan itu, Presiden dapat mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu).
Perppu itu berpotensi diterima oleh DPR. Pada tahun politik, fraksi-fraksi di DPR ditengarai akan mempertimbangkan dampak elektoral jika tetap berkukuh mempertahankan pasal-pasal kontroversial di UU MD3. Dari sepuluh fraksi di DPR, setidaknya dua fraksi, yaitu Nasdem dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), mendukung perppu itu. Saat Rapat Paripurna DPR yang menyetujui RUU MD3 hasil revisi disahkah jadi UU pada 12 Februari lalu, dua fraksi ini keluar dari ruang rapat.
”Bukan hanya mendukung, sejak awal kami justru meminta agar Presiden mengeluarkan perppu untuk mengoreksi pasal-pasal kontroversial itu,” kata Sekretaris Jenderal PPP Arsul Sani saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (2/3).
Pasal kontroversial yang dimaksud, misalnya, Pasal 122 yang mengatur tentang kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) untuk mengambil langkah hukum terhadap mereka yang merendahkan kehormatan anggota DPR atau lembaga DPR. Pasal 73 Ayat (5) dan Pasal 204 Ayat (7) juga disorot karena setiap orang yang tidak memenuhi panggilan dari DPR tanpa alasan yang sah setelah dipanggil tiga kali berturut-turut dapat dipanggil paksa dan disandera oleh kepolisian. Pasal 245 juga memancing polemik karena pemanggilan kepada anggota DPR terkait dengan kasus hukum harus ada persetujuan dari MKD.
Selain pemerintah, menurut Ketua Fraksi Partai Nasdem Johnny G Plate, DPR juga perlu mencari jalan keluar untuk mengakhiri polemik terkait dengan hasil revisi UU MD3. Pasalnya, pembuat undang-undang adalah DPR dan pemerintah. ”Tidak bagus kalau sampai muncul antipati terhadap partai politik dan DPR,” katanya.
Menurut Johnny, jalan keluar itu, misalnya, DPR dan pemerintah menyepakati untuk merevisi kembali UU MD3 segera sesudah diberi nomor. Namun, jika ternyata fraksi-fraksi di DPR tidak sepakat untuk ikut mencarikan jalan keluar, solusi perppu dapat ditempuh.
Jalan keluar itu, misalnya, DPR dan pemerintah menyepakati untuk merevisi kembali UU MD3 segera sesudah diberi nomor.
Kegentingan
Namun, Ketua Badan Legislasi DPR dari Fraksi Partai Gerindra Supratman Andi Agtas tidak setuju Presiden memilih opsi mengeluarkan perppu. Menurut dia, tidak ada unsur kegentingan yang terpenuhi untuk perppu. Jalan terbaik, ujarnya, adalah tetap memberlakukan UU MD3 hasil revisi, lalu mempersilakan publik untuk mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.
Jika perppu dikeluarkan, ia mengkhawatirkan hal itu akan memunculkan preseden yang kurang elok pada masa depan, yang mempermudah pemerintah atau presiden untuk mudah melepas tangan terhadap RUU yang sudah disetujui bersama DPR. ”Masa pemerintah sudah setuju dalam paripurna, lalu sekarang mengeluarkan perppu? Apakah berarti dalam persetujuan bersama itu presiden bisa seenaknya melepas tangan?” ujarnya.
Wakil Ketua Fraksi PDI-P DPR Hendrawan Supratikno menilai, perppu memang bisa menghentikan kontroversi revisi UU MD3 dengan cepat. Namun, menurut dia, pasal-pasal yang dipersoalkan oleh publik tidak terlalu mendesak untuk direvisi dengan perppu.
Namun, Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari mengatakan, perppu mendesak dikeluarkan karena keberadaan pasal-pasal itu akan menimbulkan masalah dan melahirkan kegentingan. Itu karena pasal-pasal tersebut pada akhirnya akan menciptakan oligarki di DPR.
Dengan mengeluarkan perppu, lanjut Feri, Presiden menunjukkan penolakannya pada pasal-pasal itu, tak sebatas omongan belaka. Selain itu, dikeluarkannya perppu juga bentuk pertanggungjawaban Presiden karena dalam proses pembahasan revisi, ditengarai ada persoalan komunikasi antara dirinya dengan bawahannya, khususnya Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly. (AGE/APA)