Korupsi Politik Jadi Persoalan Utama
Jika pada 2016 ada 10 kepala daerah yang diproses hukum KPK, pada 2017 jumlahnya menjadi 12 kepala daerah. Pada tahun lalu juga ada 20 anggota legislatif yang diproses hukum KPK.
Problem korupsi politik kembali terlihat dalam Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2017 yang diluncurkan Transparency International Indonesia pada 22 Februari lalu. IPK Indonesia tahun 2017 sama dengan tahun 2016, yaitu pada skor 37 dalam rentang 0 (dipersepsikan paling korup) dan 100 (dipersepsikan sangat bersih dari korupsi).
IPK tahun 2017 disusun dengan sembilan indikator, atau berarti tambah satu indikator dibandingkan dengan IPK tahun 2016 yang disusun dengan delapan indikator. Satu indikator yang ditambahkan itu adalah Varieties of Democracy Project.
Jika melihat delapan indikator yang dipakai untuk menilai delapan IPK tahun 2016 dan 2017, skor empat indikator mengalami peningkatan. Empat indikator itu adalah World Economic Forum, Global Insight Country Risk Ratings, Bertelsmann Foundation Transformation Index, dan IMD World Competitiveness Yearbook. Dua indikator skornya stagnan, yaitu Economist Intelligence Unit Country Ratings dan Political Risk Service. Sementara dua indikator mengalami penurunan skor yang signifikan, yaitu World Justice Project dan Political and & Economic Risk Consultancy (PERC) Asia Risk Guide.
Empat indikator yang skornya naik banyak terkait dengan bidang ekonomi. Sementara dua indikator yang turun lebih terkait di bidang politik dan hukum.
Penurunan skor di PERC Asia Risk Guide disebabkan ada persepsi bahwa pemerintahan belum dapat mengendalikan kelompok tertentu yang ingin mencari keuntungan meski sering kali harus melanggar ketentuan. Penurunan skor juga disebabkan ada kekecewaan publik terhadap dukungan pemerintah dan parlemen kepada KPK.
Indikator World Justice Project antara lain disusun oleh faktor korupsi di pemerintahan, pemenuhan keadilan dan penegakan hukum yang bebas dari diskriminasi dan korupsi, serta faktor pemenuhan hak dasar warga negara.
Jika melihat sembilan indikator yang dipakai untuk menyusun IPK 2017, terlihat bahwa stagnasi IPK Indonesia terutama disebabkan oleh indikator di bidang politik dan hukum. Indikator itu terkait erat dengan korupsi di lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Kita masih beruntung karena tak ada stagnasi dan bahkan ada perbaikan dalam indikator di bidang ekonomi. Jika ada stagnasi dalam indikator itu, IPK Indonesia tahun 2017 tak hanya stagnan, tetapi juga akan lebih rendah dibandingkan dengan IPK 2016.
Parpol
Melihat skor dalam indikator penyusun IPK, peneliti dari Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, Oce Madril, mengatakan, partai politik menjadi salah satu kunci peningkatan IPK di Indonesia. Selama partai politik tidak berbenah, terutama dalam transparansi keuangan, kenaikan IPK Indonesia akan tersendat. Pasalnya, transparansi keuangan parpol menjadi salah satu kunci mengikis korupsi di bidang politik dan hukum.
Sistem di Indonesia saat ini memang membuat parpol dan orang yang ada di dalamnya harus punya cukup modal (uang). Tanpa uang yang cukup, parpol akan kesulitan menjalankan roda organisasi parpol, membiayai kampanye pada pilkada atau pemilu, dan melakukan kaderisasi.
Kondisi ini disinyalir menjadi salah satu faktor maraknya korupsi politik. Dari sejumlah praktik korupsi yang diungkap KPK, diketahui bahwa sejumlah uang yang dikorupsi ditengarai untuk membiayai aktivitas politik dan partai politik.
Guna mengurangi risiko perilaku koruptif dari para pejabat hingga kader parpol dalam mencari biaya politik, KPK merekomendasikan agar ada kenaikan dana bantuan keuangan dari negara untuk parpol. Usulan ini secara prinsip telah disetujui pemerintah dan DPR dengan cara merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 5 Tahun 2009 tentang Bantuan Keuangan kepada Partai Politik. Dalam draf revisi PP tersebut, disebutkan nilai satu suara yang jadi dasar perhitungan bantuan untuk parpol dinaikkan dari semula Rp 108 menjadi Rp 1.000. Adapun besaran bantuan yang akan diterima setiap partai adalah nilai satu suara dikalikan jumlah suara partai pada pemilu legislatif terakhir.
Namun, seperti disampaikan Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan, penambahan bantuan keuangan itu harus diikuti dengan sejumlah syarat, seperti akuntabilitas dan transparansi pengelolaan keuangan parpol, perekrutan dan kaderisasi secara terbuka, serta penegakan etik dengan membentuk mahkamah etik parpol. Sayangnya, syarat yang diminta KPK tersebut agaknya cenderung diabaikan.
Bahkan, sejumlah politisi parpol di DPR kini terkesan makin berupaya melindungi dirinya serta menghindar dari transparansi dan kritik publik. Ini terlihat antara lain dari isi UU tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD hasil revisi, yang memuat sejumlah ketentuan kontroversial. Ketentuan itu, misalnya, untuk memanggil atau memeriksa anggota DPR terkait dengan tindak pidana harus mendapat izin Mahkamah Kehormatan Dewan.
Sementara terkait dengan skor IPK, dengan mudahnya panitia angket DPR terhadap KPK menyimpulkan, skor IPK yang masih tergolong rendah menjadi catatan terhadap kerja KPK.
Padahal, dengan melihat skor IPK 2017 dan indikator yang membentuknya, agaknya cukup mudah untuk memahami siapa sebenarnya yang menjadi masalah dalam skor IPK dan pemberantasan korupsi di Indonesia.
(Riana A Ibrahim)