JAKARTA, KOMPAS — Maraknya penyelundupan narkotika dan obat-obatan terlarang ke Indonesia menjadikan Tanah Air sebagai salah satu sasaran peredaran narkoba. Kondisi darurat ini harus segera diatasi, salah satunya dengan menyelesaikan revisi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang merupakan inisiatif pemerintah.
Sepanjang dua bulan terakhir, aparat keamanan menangkap dua kapal asing yang memuat hampir 3 ton sabu di perairan Provinsi Kepulauan Riau. Tak hanya itu, Badan Narkotika Nasional (BNN) pun mengungkap transaksi pencucian uang hasil perdagangan narkoba yang nilainya mencapai Rp 6,4 triliun.
Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Firman Soebagyo, Minggu (4/3), yang dihubungi dari Jakarta, mengatakan, kondisi darurat narkotika ini harus segera diatasi pemerintah. Jika pemerintah lamban dalam menyusun draf revisi UU Narkotika, DPR akan mengambil alih inisiatif revisi UU tersebut.
”Kami akan melibatkan setiap stakeholder dalam pembahasan revisi UU tersebut. Ini sudah darurat sebab setelah pemberantasan masif dilakukan oleh Pemerintah Filipina, para bandar besar itu larinya ke sini (Indonesia),” katanya.
Firman, yang juga Wakil Ketua Umum Gerakan Nasional Antinarkotika (Granat), mengatakan, sejumlah hal perlu diakomodasi dalam revisi UU Narkotika, antara lain percepatan eksekusi bandar narkoba. Revisi sebaiknya juga mengatur tentang hukuman yang lebih tegas kepada aparat keamanan yang terlibat dalam peredaran narkoba serta tidak memberi kesempatan kepada gembong narkoba melakukan upaya hukum lanjutan untuk menunda eksekusi.
”Kalau memang masih dimungkinkan untuk dilakukan hukuman mati, sebaiknya ada ketentuan khusus di dalam revisi UU Narkotika itu yang mempercepat eksekusi gembong narkoba. Supaya tidak terjadi lagi seperti kasus Freddy Budiman yang tidak segera dieksekusi sehingga masih bisa mengorganisasi bisnis narkoba dari balik jeruji besi yang bernilai miliaran rupiah,” ujarnya.
Freddy Budiman adalah bandar narkoba yang telah dieksekusi pada Agustus 2016.
Poin revisi
Ketua Harian Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Choky Risda Ramadhan mengatakan, pihaknya bersama dengan sejumlah lembaga nonpemerintahan, seperti Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBH Masyarakat) dan Persaudaraan Korban Napza Indonesia (PKNI) sedang membuat naskah akademik revisi UU Narkotika. Salah satu poin penting yang dibahas, perlunya pengguna narkotika direhabilitasi, bukan dipenjara.
”Selama ini, pengguna yang sebenarnya adalah korban juga dipenjara. Dengan praktik pemidanaan semacam itu, keberhasilan penyembuhan pengguna sangatlah kecil. UU yang baru harus menjamin pelaksanaan rehabilitasi medis bagi penyalah guna narkoba,” kata Choky.
Pemidanaan pengguna narkoba juga memperberat kondisi Lembaga Pemasyarakatan (LP). Sejak UU No 35/2009 berlaku, jumlah pengguna narkoba yang dipenjara terus meningkat. Akibatnya, LP kelebihan pengghuni. MaPPI mencatat, saat UU itu baru disahkan, ada 3.900 pengguna narkoba dipenjara. Pada Desember 2017, jumlah itu meningkat menjadi 80.000 pengguna yang dipenjara.
Poin lainnya yang diusulkan untuk direvisi ialah penambahan frasa ”secara sengaja” di dalam Pasal 111-114 UU Narkotika. Pasal-pasal itu mengatur tentang ketentuan pidana terhadap orang yang ”menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, dan menguasai, atau menyediakan narkotika.” Tidak ada frasa ”secara sengaja” di dalam ketentuan pidana itu sehingga mereka yang tidak sengaja memiliki atau menyimpan narkoba tidak bisa membela dirinya dari jerat pidana.
”Dengan rumusan yang ada saat ini, seseorang yang kedapatan menguasai narkoba, tetapi bukan atas kesadarannya sendiri, melainkan karena ada dijebak, tidak bisa membela diri. Kami mengusulkan penambahan frasa ”secara sengaja” di dalam pasal-pasal ketentuan pidana itu,” ujar Choky.
Kepala Bagian Humas Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Ade Kusmanto mendukung usulan merehabilitasi pengguna narkotika. Namun, rehabilitasi itu harus disertai dengan hasil pemeriksaan medis, psikologis, dan sosial oleh tim penilai sehingga tidak terjadi kesalahan dalam menempatkan orang di dalam pusat rehabilitasi.
Hingga Minggu sore, jumlah tahanan dan narapidana se Indonesia sebanyak 226.510 orang. Menurut Ade, 60 persen, di antaranya, adalah pengguna narkoba. (REK)