JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah memastikan tidak ada perbedaan pandangan mengenai revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Berakhirnya perbedaan pandangan ini diharapkan mendorong percepatan pengesahan revisi. Kesepakatan ini diraih dengan memberi ruang Tentara Nasional Indonesia dalam pemberantasan terorisme.
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto mengatakan, pemerintah sepakat, pencegahan, penindakan, dan pemulihan tindak terorisme motornya ada di kepolisian. ”Namun, tak tertutup kemungkinan TNI membantu polisi,” kata Wiranto di kompleks Istana, Jakarta, Senin (5/3).
Dengan kesepahaman ini, dibutuhkan satu ruang UU terkait dengan perbantuan dari TNI. Ini artinya, personel TNI bisa dilibatkan dalam penanganan terorisme. ”Tanpa kita menentang UU ini, tanpa kita membongkar UU yang hanya direvisi (bisa libatkan TNI),” kata Wiranto.
Dengan kesepakatan ini, perbedaan pandangan soal revisi UU Terorisme dapat segera dituntaskan. Wiranto yakin, tidak lama lagi hasil revisi UU ini bisa diterbitkan. Dengan begitu, Indonesia segera memiliki acuan hukum melawan terorisme.
Mengacu perlawanan terhadap aksi teror di sejumlah negara, langkah itu dilakukan dengan total. Tak hanya dengan TNI, perlawanan aksi teror juga melibatkan elemen masyarakat dan DPR untuk segera diselesaikan.
Sejauh ini, kesamaan pandangan terwujud setelah pertemuan pihak-pihak terkait di Kementerian Polhukam, kemarin. Selain Wiranto, hadir juga Panglima TNI Jenderal Hadi Tjahjanto, Kepala Polri Jenderal (Pol) Tito Karnavian, Kepala Badan Intelijen Negara Budi Gunawan, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu, Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly, serta Jaksa Agung M Prasetyo.
Bersihkan konten negatif
Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara siap membantu Polri membersihkan materi berita bohong di media sosial. Menurut Rudiantara, selama materi itu bertentangan dengan UU No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, individu ataupun atas nama siapa pun harus dibersihkan. ”Kami bisa bantu melacak jejak digital, dengan mengerahkan PPNS (penyidik pegawai negeri sipil) jika diperlukan,” kata Rudiantara.
Sementara itu, saat jumpa pers di Mabes Polri, Ketua Satuan Tugas Nusantara Polri Inspektur Jenderal Gatot Edi Promono mengatakan, sebagian besar kejadian kekerasan yang diviralkan di media sosial ternyata tidak nyata. Selama Februari 2018, pihak kepolisian mencatat 45 peristiwa penyerangan ulama atau pengurus masjid yang menjadi viral di media sosial. Dari 45 kejadian itu, hanya ada tiga yang benar-benar terjadi. Pelaku penyebaran hoaks itu diduga kelompok Muslim Cyber Army (MCA) dan Saracen.
”Kami mendalami siapa aktor di darat (lapangan) dan udara (dunia maya). Di darat, kami belum melihat benang merah atau koneksi antarperistiwa. Di udara, ada satu koneksi,” kata Gatot. (NDY/DD07)