JAKARTA, KOMPAS Regulasi pemilihan kepala daerah serentak 2018 masih memiliki celah yang memungkinkan pelaporan dana kampanye bisa dimanipulasi. Untuk itu, selain kapasitas pengawas di daerah harus prima, kolaborasi antara penyelenggara pemilu dan instansi penegak hukum dan masyarakat sipil juga diperlukan.
Celah regulasi tersebut, misalnya, terjadi karena pelaporan dana kampanye hanya mencakup masa-masa kampanye yang diatur oleh Komisi Pemilihan Umum. Adapun dana pada masa sebelum kampanye hingga pemungutan suara belum diatur. Selain itu, tidak selalu transaksi kampanye dilakukan melalui rekening khusus kampanye pasangan calon.
”Kesadaran terhadap akuntabilitas dana calon itu betul-betul belum ada. Jadi sekadar formalitas. Ini belum menjadi parameter integritas kompetisi,” kata Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini dihubungi dari Jakarta, Sabtu (10/3).
Titi menilai, saat ini upaya untuk memaksa pasangan calon serius melaporkan dari mana mereka mendapat dana dan untuk apa dana itu digunakan, serta keabsahan sumbangan dana kampanye, hanya bisa muncul jika ada kerja sama kuat antarinstansi terkait. Dia juga mendorong pengawas pemilu dan penegak hukum mengintensifkan pengawasan guna mencegah aliran dana dari pasangan calon untuk membeli suara pemilih.
Uang suap dari kontraktor itu sengaja disediakan dalam bentuk pecahan Rp 50.000
Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi menemukan indikasi adanya uang hampir Rp 2,8 miliar yang disita dari operasi tangkap tangan terhadap Wali Kota Kendari, Sulawesi Tenggara, Andriatma Dwi Putra. Uang itu akan dibagikan kepada masyarakat untuk kampanye ayahnya, Asrun, yang mencalonkan diri sebagai gubernur dalam Pilkada Sulawesi Tenggara. Uang suap dari kontraktor itu sengaja disediakan dalam bentuk pecahan Rp 50.000.
Pada saat hampir bersamaan, Badan Pengawas Pemilu juga menemukan indikasi ketidakseriusan pasangan calon dalam melaporkan dana kampanye. Bawaslu mencatat, dari data laporan awal dana kampanye (LADK) 431 pasangan calon bupati dan wali kota pada Pilkada 2018, sekitar 40 persen melaporkan dana awal mereka di bawah Rp 10 juta.
”Jajaran Bawaslu di daerah harus diberi bekal kemampuan untuk mengantisipasi politik uang sekaligus mengawasi penggunaan dana kampanye. Di tengah kompleksitas kewenangan Bawaslu, harus membangun fokus pengawasan dana kampanye. Mereka bisa bekerja sama dengan masyarakat sipil,” kata Titi.
Secara terpisah, Ketua Bawaslu Abhan menuturkan, pengawas di daerah sudah dibekali alat kerja pengawasan untuk mencatat segala bentuk kampanye yang dilakukan pasangan calon, mulai dari intensitas pertemuan terbatas hingga pemasangan alat peraga kampanye. Mereka kemudian diminta mengonversi kegiatan itu dalam nominal rupiah guna memastikan apakah dana yang dikeluarkan masih dalam batas maksimal dana kampanye yang sudah ditetapkan oleh KPU di daerah. Keseluruhan dana itu akan disandingkan dengan laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye yang akan diserahkan calon di akhir masa kampanye.
”Misalnya, pasangan calon hanya melaporkan pengeluaran Rp 2,5 miliar. Tetapi, data pengawasan lebih dari jumlah itu, maka jadi catatan yang akan ditindaklanjuti oleh kantor akuntan publik yang mengaudit,” kata Abhan.
Peran masyarakat
Dalam Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2017 tentang Dana Kampanye Peserta Pilkada disebutkan, masyarakat dan lembaga pemantau bisa turut mengawasi dana kampanye. Indikasi pelanggaran bisa disampaikan kepada KPU setempat yang oleh kantor akuntan publik menjadi bahan audit dana kampanye.
Anggota Bawaslu, Fritz Edward Siregar, menambahkan, hasil pencatatan oleh pengawas hingga di tingkat kecamatan tidak hanya berguna untuk menjadi bahan masukan bagi kantor akuntan publik. Data itu juga bisa digunakan untuk tindak lanjut oleh pengawas pemilu jika ada indikasi pelanggaran pidana pemilu terkait dengan pendanaan kampanye, terutama berkaitan dengan pembatasan dana kampanye.