JAKARTA, KOMPAS - Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi diminta untuk tidak mempertaruhkan kredibilitas KPK dengan mengumbar pernyataan tentang rencana penetapan calon kepala daerah sebagai tersangka korupsi. KPK sebaiknya bekerja melalui produk hukumnya, dengan langsung menerbitkan surat perintah penyidikan atau surat tuntutan, dan bukan melalui wacana yang dilontarkan pimpinannya.
KPK juga perlu mempertimbangkan relasi dengan lembaga lain saat melontarkan pernyataan.
”Kalau mau menetapkan tersangka, tetapkan saja. Tidak usah keluarkan statement yang membuat hubungan dengan lembaga lain memanas. Itu bisa kontraproduktif,” kata Bayu Dwi Anggono, Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi Universitas Jember, Jawa Timur, Rabu (14/3).
Pada 6 Maret lalu, Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan ada beberapa kepala daerah yang kemungkinan akan menjadi tersangka. Sebagian calon kepala daerah ada di Pulau Jawa, lainnya ada di luar Jawa.
Sebelumnya Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Wiranto mengimbau lembaga penegak hukum untuk menunda proses hukum untuk para calon kepala daerah.
Kemarin pagi, di sela-sela acara penandatangan kerja sama dengan Kementerian Keuangan, Agus kembali mengatakan, KPK berencana mengumumkan calon kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi. Ia mengaku telah menandatangani sprindik untuk seorang calon kepala daerah dan akan menandatangani sprindik untuk peserta pilkada lain.
Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Parahyangan, Asep Warlan Yusuf, mengatakan, KPK dan instansi pemerintah sebaiknya menghentikan perang opini di media agar tak membingungkan masyarakat. “Apakah memang harus begitu cara kita menyelesaikan permasalahan korupsi ini? Melalui perang opini di media. Apakah tidak sebaiknya KPK dan pemerintah melakukan koordinasi dengan pemerintah tanpa bermaksud harus ada intervensi pemerintah,” kata Asep Warlan.
Menurut Asep, kondisi yang muncul saat ini sepertinya hendak memperlihatkan bahwa komisi antirasuah ingin menunjukkan kekuasaan yang dimilikinya. KPK dalam kondisi sekarang ini, menurut dia, bisa dipandang sebagai sebuah institusi yang tidak bisa diimbau dalam hal penegakan hukum.
Pada sisi lain, Asep juga menilai bahwa keinginan pemerintah yang disampaikan Wiranto agar KPK menunda penetapan para calon kepala daerah sebagai tersangka korupsi adalah tidak tepat, sebagai tindakan yang tidak sepatutnya dilakukan ketika hukum memang harus ditegakkan. “Himbauan itu tidak relevan dengan situasi dan kondisi kita saat ini yang memang harus menegakkan aturan hukum,” kata Asep.
Hanya, tambahnya, KPK perlu memperhitungkan dampak yang akan ditimbulkan. Sebab, langkah KPK itu belum tentu bisa diterima oleh sebagian kalangan. Bahkan, sebagian orang menilai langkah ini untuk mempermalukan partai politik.
Terkait dengan hal itu, Agus memiliki usulan. ”Supaya partai tidak dirugikan, saya menyarankan agar Presiden mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Jadi bagi calon yang ditersangkakan, partai bisa mengganti. Dengan demikian, rakyat bisa mendapatkan calon terbaik,” kata Agus.
Sikap Polri dan Kejaksaan
Sementara itu, Kepala Polri Jenderal (Pol) Tito Karnavian menegaskan kembali sikap Polri untuk menunda sementara proses hukum para calon kepala daerah. Langkah ini dilakukan untuk menghargai proses demokrasi yang sedang berjalan karena pemilihan umum dinilai sebagai titik penting dari demokrasi. Proses hukum akan dilanjutkan setelah pilkada usai.
”Polri menangani banyak kasus. Korupsi, penipuan, pencemaran nama baik, susila. Bayangkan kalau setiap lawan politik lapor ke polisi meminta proses dipercepat. Setelah dipanggil lalu elektabilitasnya jeblok. Daripada polisi dianggap ikut berpolitik, lebih baik ditunda dulu. Kecuali kalau operasi tangkap tangan atau pidana pemilu,” kata Tito.
Sikap serupa juga disampaikan Jaksa Agung HM Prasetyo. Menurut dia, penanganan kasus korupsi peserta pilkada oleh penegak hukum itu bisa menimbulkan masalah pada proses penyelenggaraan pesta demokrasi. "Kejaksaan dan Polri, selama proses berlangsungnya pilkada, untuk sementara, tidak akan menangani kasus para paslon (pasangan calon) itu," tuturnya