Cerita untuk Merawat Ingatan Bersama
Canopy Center, dahulu ruko kosong, sudah dua tahun terakhir disulap menjadi kafe, hostel, sekaligus tempat berkumpul anak-anak muda di sisi selatan Pontianak. Didesain minimalis dengan dominasi furnitur kayu, serta ruang yang terbuka, tempat ini menciptakan suasana yang asyik untuk duduk sambil baca buku, atau mengobrol. Di salah satu meja tidak jauh dari pintu masuk, awal Maret lalu, Deni menceritakan proyek film dokumenternya.
”Pesan yang mau disampaikan sederhana. Ini, loh, orang-orang yang menjaga kotamu, orang-orang yang sering dibilang oportunis karena hanya urus bisnis. Mereka jadi relawan pemadam kebakaran yang menjaga kota kita,” kata Deni yang juga pendiri Canopy Center.
Film dokumenter yang dibuat Deni mengangkat sisi kemanusiaan relawan yayasan-yayasan pemadam kebakaran swasta di Kota Pontianak yang didirikan komunitas Tionghoa. Jumlahnya yang mencapai 20 yayasan membuat Pontianak disebut sebagai daerah dengan jumlah pemadam kebakaran swasta terbesar di Indonesia. Salah satu yayasan tertua dibentuk tahun 1940-an. Tiap yayasan punya peralatan sendiri, sedangkan relawan pemadam yang terdiri atas warga Tionghoa ataupun warga Melayu dan Dayak tak dibayar. Terkadang mereka hanya ”diupah” sebungkus nasi setelah memadamkan api.
Adegan terakhir yang dibutuhkan dalam film berdurasi 30-40 menit itu, yaitu pemakaman salah seorang relawan, sudah didapat. Deni tinggal menyempurnakan film itu, sambil menyelesaikan buku dengan topik sama. Dia merencanakan film itu diputar di sejumlah tempat di Pontianak. Tujuannya agar ”ingatan” akan keberagaman dan harmoni antar-etnis bisa terjaga di tengah kontestasi politik elektoral di Kalimantan Barat (Kalbar) yang menghangat.
Kota Pontianak merupakan potret dari keberagaman masyarakat di Kalbar. Di provinsi ini, warga dari komunitas Dayak, Melayu, Tionghoa, Jawa, Sunda, dan Madura hidup dalam satu harmoni sosial. Namun, keberagaman itu juga sempat menghadapi ujian yang berat.
Gerry van Klinken dalam ”Identity Formation in West Kalimantan”, bab dalam buku Communal Violence and Democratization in Indonesia, bertutur, konflik komunal antar-etnis yang besar terjadi dua kali di Kalbar, yakni awal 1997 dan 1999, menewaskan sejumlah warga, serta memaksa puluhan ribu orang pergi mengungsi.
Menepis prasangka
Tidak hanya melalui medium audiovisual, anak-anak muda Pontianak juga menggunakan tulisan sebagai cara untuk berbagi cerita soal keberagaman, membongkar prasangka, serta menggambarkan buruknya kekerasan. Kelompok-kelompok menulis ini mulai tumbuh, begitu pula dengan penerbitan indie yang mengangkat isu-isu lokal.
Di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Pontianak, sejak tahun 2003 terbentuk Klub Menulis, yang tidak hanya mengajak mahasiswa menulis, tetapi juga menerbitkan buku-buku karya para mahasiswa yang jadi anggota klub itu. Sekitar 200 judul buku telah mereka terbitkan. Buku yang diterbitkan secara sederhana dan swadaya itu sangat beragam, ada novel, cerita perjalanan, cerita rakyat, kumpulan esai. Semua berkonten lokal.
”Menulis secara tidak langsung jadi ’guru’ masyarakat karena buku bisa memberi inspirasi, baik bagi penulisnya maupun pembacanya. Menulis dengan pikiran jahat bisa membuat masyarakat jadi jahat. Maka kami mendorong untuk menulis sesuatu yang lokal, tetapi bermanfaat,” kata pembina Klub Menulis IAIN Pontianak Yusriadi.
Beberapa buku karya anggota Klub Menulis itu, seperti Tionghoa di Kalimantan Barat, Temanku Orang Cina Kalbar, Pesan Damai untuk Kalbar, sempat menarik perhatian pengunjung dalam beberapa pameran. Selain itu, juga ada Kisah Pelarian 97 dan In Memoriam 97 yang bercerita soal kekerasan komunal di Kalbar. Ada pula buku Tiga Kisah di Ujung Sekadau yang bercerita soal pengalaman Suherman, mahasiswa jurusan Pendidikan Agama Islam IAIN, saat survei program kependudukan selama dua bulan di perkampungan warga Dayak di Kabupaten Sekadau, Kalbar.
Suherman bertutur, ada banyak prasangka dan kekhawatirannya yang ternyata tidak terbukti saat berinteraksi dengan warga di daerah itu, misalnya, di salah satu kampung, ia menemui kepala dusun yang seorang Dayak Muslim di tengah masyarakat non-Muslim. ”Saya dari keluarga Madura, tetapi begitu masuk ke lingkungan mereka, saya diterima dengan sangat baik dan mereka ramah sekali,” katanya.
Menjaga ingatan
Inisiatif gerakan menulis, sekaligus penerbitan indie, juga muncul dari Pustaka Rumah Aloy. Sudah ada 134 judul buku diterbitkan Pustaka Rumah Aloy. Saat ini mereka getol mendorong penerbitan buku-buku cerita rakyat. Dedy Ari Asfar, pendiri Pustaka Rumah Aloy, mengatakan, hal itu dilakukan untuk menjaga tradisi sastra lisan yang punya banyak pesan positif, seperti adat kesopanan, menghormati sesama, dan menghargai perbedaan. Tujuan ini membuat mereka menggratiskan biaya cetak buku cerita rakyat.
”Membaca itu katarsis, mencoba membersihkan hati dan pikiran. Jadi, kalau membaca buku cerita rakyat, harapannya apa yang baik dalam cerita itu, apakah tokoh atau pesannya, bisa masuk dalam pikiran,” kata Dedy yang juga penyuluh di Balai Bahasa Kalimantan Barat itu.
Budaya populer, baik audio- visual maupun tulisan, menurut Hermansyah, Wakil Rektor IAIN Pontianak yang juga pemerhati sosial budaya Kalbar, bisa jadi medium untuk menjaga memori kolektif akan ”kesepakatan” untuk hidup bersama di komunitas yang plural. Pesan lewat budaya populer juga lebih mudah diterima masyarakat ketimbang ucapan ataupun jargon elite yang kerap berbicara soal pluralisme, tetapi di ruang belakang mereka sering kali justru menganjurkan hal yang sebaliknya.
Bagi dia, tumbuhnya berbagai inisiatif dari akar rumput untuk menjaga narasi kebersamaan, merupakan harapan. Pasalnya, di saat banjir informasi di media sosial yang tak terkendali, masyarakat butuh informasi positif. Inisiatif ”organik” dari masyarakat perlu didukung, tidak dikooptasi kepentingan tertentu. Namun, mereka juga perlu difasilitasi agar tumbuh subur.
Seperti disampaikan Deni Sofian, agar karya kreatif dan pesan keberagaman itu bisa hidup berkesinambungan, para pegiat juga harus punya cara pandang entrepreneur sosial. Pemerintah, kata dia, setidaknya, bisa menyediakan ruang agar karya mereka bisa menjangkau banyak orang, sekaligus bisa menghidupi karya selanjutnya…. Semoga.
(ANTONY LEE/NINA SUSILO)