Keberagaman di Parade Tatung
Cap Go Meh memang menjadi puncak sekaligus penutupan perayaan Tahun Baru Imlek bagi warga etnis Tionghoa. Namun, bagi warga Singkawang, Kalimantan Barat, Cap Go Meh adalah perayaan keberagaman.
Pada saat festival Cap Go Meh dibuka, ribuan masyarakat dari berbagai etnis dan agama menyemut di tepi-tepi jalan utama tempat perayaan berlangsung. Etnis Tionghoa, Melayu, Dayak, bahkan para turis dari sejumlah daerah berbaur menjadi satu. Tak ada lagi batas etnis atau agama. Semua menikmati parade. Parade tatung atau orang yang trans adalah daya tarik utama perayaan Cap Go Meh di Kota Singkawang.
Para tatung itu tak sekadar berpawai, tetapi juga mempertunjukkan kekebalan tubuh. Ada yang duduk atau berdiri di atas tandu yang telah dipasang bilah-bilah golok atau paku-paku tajam.
Dari parade tatung, masyarakat sesungguhnya tidak sekadar menyaksikan tradisi Tionghoa, tetapi juga menyaksikan keberagaman dan akulturasi. Dandanan para tatung sangat variatif. Ada yang mengenakan baju para pembesar atau prajurit China, ada pula yang berpakaian seperti prajurit suku Dayak.
Menurut Budayawan Singkawang, Hasan Karman, beragamnya kostum tatung, diyakini sebagai representasi dari ”roh leluhur” yang merasuki para tatung. Ada roh prajurit Dayak yang meminta pakaian selayaknya prajurit Dayak. Adapula prajurit China, dewa-dewa, ataupun leluhur dari masyarakat Singkawang sendiri yang sebagian merupakan anak dari pernikahan orang Tionghoa pendatang generasi pertama dengan penduduk setempat.
”Makanya, ketika penulis buku Mitologi China ke Singkawang, dia terheran-heran sebab di sini ada dewa muka hijau, dewa muka hitam, dan lain-lain yang tidak dikenal sebelumnya,” kata Hasan.
Komunikasi simbolik
Terlepas dari keyakinan tersebut, kostum tatung itu sebenarnya juga punya muatan simbolik. Dea Varanida dalam artikelnya ”Komunikasi dalam Integrasi Sosial Budaya antaretnis Tionghoa dan Pribumi di Singkawang” di jurnal Ilmu Komunikasi Volume 14-1 (2016) menilai, terdapat komunikasi antaretnis yang ada di Singkawang melalui parade tatung di perayaan Cap Go Meh. Beragamnya atribut tatung tersebut menjadi simbol komunikasi yang melambangkan penyatuan antaretnis. Parade tatung, menurut Dea, sekaligus ”mengedukasi masyarakat Kota Singkawang untuk menjadikan perbedaan sebagai kekuatan untuk membangun masyarakat yang damai.”
Para tatung yang tampil juga bukan hanya warga Tionghoa. Antonius (19), warga beretnis Dayak, sudah menjadi tatung sejak empat tahun lalu. ”Cap Go Meh bukan hanya milik orang Tionghoa, tetapi milik semua warga Singkawang,” ujarnya di sela parade.
Relasi sosial yang lentur itu memang tidak bisa terpisahkan dari kondisi demografi Singkawang yang multietnis. Badan Pusat Statistik mencatat, etnis Tionghoa mencakup 42 persen dari jumlah penduduk Singkawang, sedangkan warga etnis Melayu 30 persen. Adapun Dayak 13 persen dan Madura 10 persen.
Ikhsan Tanggok dalam bukunya Agama dan Kebudayaan Orang Hakka di Singkawang (2017) mengatakan, warga Singkawang tak punya masalah dengan perbedaan. Warga beragama apa pun bisa menyekolahkan anak-anaknya di sekolah yang berbasis agama Katolik ataupun Islam kendati tak menganut agama tersebut. Anak-anaknya pun bisa saja mempelajari agama Katolik dan Islam di sekolah-sekolah itu, tetapi tetap menjalankan tradisi dan kepercayaannya tanpa kehilangan jati diri. Ini modal sosial yang terbentuk alami di Singkawang.
Mengatasi kesenjangan
Jika dirunut lebih jauh, asimilasi di kota ini juga terjadi secara alami, jauh sebelum Orde Baru ”memaksakan” pembauran. Sebelum Singkawang terbentuk menjadi kota, sekitar abad ke-17, umumnya etnis Tionghoa tinggal dan bekerja di Monterado (sekarang Sambas) dan Mandor (saat ini Mempawah), yang merupakan wilayah pertambangan emas.
Sebagian besar petambang yang datang itu hanya kaum pria karena perjalanan dengan kapal laut yang lama dan berbahaya. Mereka kemudian menikahi perempuan setempat. Karena itu, generasi peranakan muncul.
Akan tetapi, modal sosial ini berpotensi tergerus di tengah perubahan sosial yang semakin cepat. Beberapa penelitian menunjukkan kesenjangan sosial ekonomi kerap memicu renggangnya relasi sosial. Akibatnya, masyarakat menjadi mudah membentuk ”kami”, lalu menempatkan komunitas lain sebagai ”mereka” yang dieksklusi dari masyarakat. Apalagi isu kesenjangan dan perbedaan sangat mudah dimanfaatkan untuk kepentingan politik. Modal sosial berupa toleransi yang terbentuk dalam sejarah panjang bisa dikoyak.
Namun, Hasan Karman menilai argumentasi itu tidak sepenuhnya bisa diterapkan di Singkawang. Sebab, kesenjangan ekonomi tidak terbagi berdasarkan etnis. Ada penduduk dari berbagai etnis yang kaya, juga ada penduduk dari berbagai etnis yang miskin. ”Saya tidak menafikan adanya kesenjangan. Namun, kesenjangan ekonomi tidak berbanding lurus dengan etnis. Orang Tionghoa banyak juga yang miskin,” katanya.
Kendati begitu, hal itu juga tetap perlu diantisipasi. Apalagi, belakangan ini narasi-narasi
untuk membenturkan berbagai etnis juga mulai muncul di media sosial. Wali Kota Singkawang
Tjhai Chui Mie mengatakan, pemerintah kota berusaha mengurangi kesenjangan dengan mendorong akses di sektor pendidikan, kesehatan, dan permodalan.
Cap Go Meh dan tatung-nya sebenarnya bisa bermakna tiga; tradisi, simbol pembauran, sekaligus roda ekonomi rakyat yang bergerak lewat industri wisata. Kini, tinggal bagaimana pemerintah serta tokoh masyarakat dan agama merawat modal sosial yang sudah ada...