JAKARTA, KOMPAS — Ditetapkannya calon gubernur Maluku Utara, Ahmad Hidayat Mus, menjadi tersangka korupsi bersama adiknya, Bupati Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah, Zainul Mus, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi memperkuat dugaan bahwa politik dinasti membuka akses lebih besar pada korupsi dan penyalahgunaan kewenangan.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, Sabtu (17/3), di Jakarta, mengatakan, terdapat korelasi yang nyata antara politik dinasti dan perilaku koruptif dalam pemerintahan daerah. Politik dinasti memudahkan akses bagi anggota keluarga untuk masuk ke dalam proses pengambilan kebijakan atau politik.
”Politik dinasti memungkinkan mereka mengelola pemerintahan daerah seperti mengelola keluarga. Mereka menguasai dan mengendalikan ruang publik seolah itu adalah ruang privat atau keluarga mereka,” kata Titi.
Ahmad Hidayat Mus dan Zainul Mus pada Jumat lalu ditetapkan sebagai tersangka korupsi pengadaan lahan fiktif untuk pembangunan Bandar Udara (Bandara) Bobong pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Kepulauan Sula tahun 2009. Dugaan korupsi itu terjadi saat Ahmad menjadi Bupati Kepulauan Sula (2005-2010), dan adiknya, Zainul, jadi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Kepulauan Sula (2009-2014).
Penetapan keduanya sebagai tersangka korupsi ini berjarak kurang dari sebulan dari penetapan bapak dan anak, calon gubernur Sulawesi Tenggara, Asrun, serta Wali Kota Kendari, Adriatma Dwi Putra.
Proses hukum kepada kepala daerah yang memiliki hubungan kekerabatan sebelumnya juga beberapa kali dilakukan KPK. Pada Desember 2016, KPK menetapkan pasangan suami-istri, M Itoch Tochija dan Atty Suharti, sebagai tersangka. Sebelumnya, KPK juga memproses hukum kakak-adik, Atut Chosiyah dan Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan.
Catatan buruk politik dinasti dan kaitannya dengan perilaku koruptif itu, menurut Titi, timbul sebagai akibat dari relasi tata kelola yang minim akuntabilitas di dalam pemerintahan daerah. Anggaran daerah dikelola seperti uang keluarga sendiri dan dimanfaatkan untuk kepentingan mereka dalam melanggengkan kekuasaan.
Selain cenderung koruptif, politik dinasti juga merusak demokrasi. Peran pendidikan politik dan kaderisasi oleh partai politik menjadi tidak berjalan. Ini karena mereka yang menjadi kepala daerah umumnya adalah elite atau keluarga elite yang juga menjadi penguasa di struktural parpol serta menguasai pendanaan parpol. Kekuasaan pada akhirnya hanya berputar pada kelompok atau keluarga tertentu yang memanfaatkan popularitas serta kekuatan finansial untuk menyokong kepentingan mereka merebut dan melanggengkan kekuasaan.
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM), Hifdzil Alim, mengatakan, korupsi di lingkungan politik dinasti lebih mungkin terjadi karena konsolidasi, kolusi, dan persekongkolan bisa dibicarakan dengan intensif dalam ruang-ruang privat mereka.
”Sangat mungkin korupsi itu direncanakan dan dibicarakan saat mereka makan atau bercengkerama di rumah. Ini karena mereka, kan, keluarga. Kalau korupsi dengan orang lain, kemungkinan tidak seintensif itu,” kata Hifdzil.
Fiktif
Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, pengadaan fiktif jadi modus korupsi Ahmad Hidayat Mus yang terjadi saat ia menjadi Bupati Kepulauan Sula. Pemkab Kepulauan Sula membayar Rp 3,4 miliar untuk membeli tanah bagi pembangunan bandara, yang seakan- akan lahan itu milik masyarakat. Padahal, tanah itu milik Zainul, adik Ahmad, yang juga Ketua DPRD Kepulauan Sula.
”Dari total Rp 3,4 miliar uang dari kas daerah, sebanyak Rp 1,5 miliar di antaranya ditransfer kepada ZM (Zainul Mus) sebagai pemegang surat kuasa yang menerima pembayaran pelepasan tanah, sedangkan Rp 850 juta diterima oleh AHM (Ahmad Hidayat Mus) melalui pihak lain. Sisa uang lainnya mengalir kepada pihak-pihak lain,” ujarnya.
Kasus ini pernah ditangani Kepolisian Daerah Maluku Utara. Bahkan, beberapa tersangka telah dipidana. Pada 2017, Ahmad selaku tersangka mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri Ternate. Hakim mengabulkan praperadilan Ahmad dan menyatakan penyidikan yang dilakukan polisi tidak sah. Sesuai dengan putusan itu, Polda Maluku Utara melakukan penghentian penyidikan. Sejak saat itu, KPK berkoordinasi dengan Polda Maluku Utara dan Kejaksaan Tinggi Maluku Utara untuk membuka penyelidikan baru terhadap kasus itu. (rek)