JAKARTA, KOMPAS - Sinergi antara Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, dan Kementerian Dalam Negeri diperlukan untuk memastikan hak warga yang belum masuk dalam daftar pemilih sementara atau DPS karena persoalan administrasi kependudukan tetap terlindungi. Namun, warga diharapkan juga mengambil inisiatif mengurus administrasi kependudukan dan menginformasikan kepada petugas KPU jika mereka belum masuk dalam DPS.
Berdasarkan data KPU yang dihimpun dari daerah hingga Senin (19/3) malam, DPS mencapai 149.330.618 pemilih dari 377.806 tempat pemungutan suara. Data tersebut dirangkum dari 375 kabupaten dan kota. Masih ada enam kabupaten di Provinsi Papua yang belum melaporkan jumlah DPS ke KPU. Namun, KPU juga menemukan informasi warga yang belum masuk dalam data penduduk pemilih potensial pemilu (DP4) ataupun belum punya kartu tanda penduduk elektronik.
Ketua KPU Arief Budiman di Jakarta mengatakan, para calon pemilih tersebut diharapkan bisa segera memberi masukan kepada KPU atas DPS. Dengan begitu, kasus mereka bisa ditindaklanjuti untuk perekaman data KTP elektronik ke Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil setempat. Namun, dalam hal petugas pemutakhiran data pemilih (PPDP) sudah menemukan data itu, KPU di daerah akan menyampaikan data calon pemilih yang belum punya KTP elektronik itu ke Dispendukcapil.
Anggota KPU, Viryan Aziz, menambahkan, umumnya ada tiga kelompok masyarakat yang belum punya data kependudukan serta tidak masuk dalam DP4, yakni kelompok masyarakat adat, warga yang tinggal di daerah yang sulit diakses, serta kelompok miskin kota. Menurut dia, KPU di daerah juga diminta melaporkan data tersebut untuk diserahkan ke Kemendagri.
Sementara itu, berdasarkan data Bawaslu, masih ada jutaan warga yang, kendati sudah masuk dalam DPS, terindikasi belum memiliki KTP elektronik. Padahal, dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada disebutkan bahwa pemilih harus berdomisili di daerah pemilihan yang dibuktikan dengan KTP elektronik. Dalam hal pemilih belum punya KTP elektronik, pemilih bisa menggunakan surat keterangan yang diterbitkan dinas terkait.
Anggota Bawaslu, M Afifuddin, mengatakan, dari data sementara yang dihimpun dari pengawas pemilu di daerah, ada 6,7 juta calon pemilih dalam DPS yang diduga belum punya KTP elektronik. Mereka didorong untuk sudah mempunyai surat keterangan pengganti KTP elektronik sebelum hari pemungutan suara. Oleh karena itu, Bawaslu berencana membentuk posko pengaduan hingga ke tingkat petugas pengawas lapangan di desa atau kelurahan agar bisa dekat dengan calon pemilih.
“Karena ini terkait dengan beberapa pihak, Kependudukan dan Pencatatan Sipil, serta KPU, kami juga akan koordinasi dalam tindaklanjut temuan dan laporan terkait pemilih yang belum punya KTP elektronik,” kata Afifuddin.
Menurut Deputi Bidang Kajian Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Andrian Habibi, perlu sinergi yang kuat antara KPU, Bawaslu, dan Kemendagri untuk mengatasi persoalan masih ada pemilih yang belum punya KTP elektronik atau bahkan surat keterangan pengganti KTP elektronik. Dia juga menilai pemerintah daerah punya porsi tanggung jawab besar untuk memastikan warganya terlayani administrasi kependudukan sehingga hak pilihnya juga terjaga.