Saat Mereka Diajak Jokowi
Wakil Presiden Jusuf Kalla sempat disebut menjadi opsi pertama pendamping Jokowi pada 2019. Terkait hal itu, Kalla menyatakan siap kembali mendampingi Jokowi. Namun, dengan catatan hal itu tak bertentangan dengan UUD 1945 dan ketentuan lain (Kompas, 27/2).
Pernyataan itu disampaikan Kalla karena di Pasal 7 UUD 1945 dinyatakan, ”Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.”
Selain itu, dalam Pasal 169 Huruf (n) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu juga disebutkan, persyaratan menjadi capres dan cawapres adalah ”Belum pernah menjabat sebagai presiden atau wakil presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama.”
Kini, di tengah wacana boleh-tidaknya Kalla kembali jadi calon wakil presiden, juga muncul sejumlah wacana tentang kriteria pendamping Jokowi pada 2019. Kriteria yang disebut antara lain harus bisa menambah suara atau elektabilitasnya tinggi, mampu memerintah, dan cocok dengan Jokowi.
Terkait dengan cawapres Jokowi pada 2019, Setyawan Prasetyo, paman Jokowi, yang tinggal di Yogyakarta, saat dihubungi dari Jakarta, Sabtu (19/3), menuturkan, ”Keluarga tentu menyerahkan kepada Pak Jokowi untuk memilih yang terbaik. Sebagai pribadi, saya berharap Pak Jokowi bisa mendapat cawapres seperti dirinya, baik, punya visi, umurnya sedikit di atas dan tidak terlalu jauh di bawah Pak Jokowi yang kini 57 tahun.”
Bergantian
Di tengah munculnya sejumlah wacana terkait cawapres Jokowi pada 2019, sejak awal tahun ini Jokowi sering mengundang sejumlah elite politik untuk mendampinginya di sejumlah kegiatan. Mereka yang diundang beberapa di antaranya sering disebut akan maju sebagai cawapres atau bahkan capres pada 2019.
Langkah Jokowi itu antara lain terlihat dengan mengajak Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar saat peresmian beroperasinya kereta api bandara pada 2 Januari lalu.
Selama acara itu, Muhaimin terlihat paling sering ada di sisi Presiden dan berbincang dengan Presiden. Saat di kereta, Muhaimin juga duduk di sisi Presiden.
”Saya lama tidak ketemu dengan beliau. Kemarin saya telepon, saya ajak, ketemu di bandara saja naik kereta,” kata Presiden di Stasiun Sudirman Baru saat ditanya tentang kehadiran Muhaimin dalam acara itu.
Pertemuan Jokowi-Muhaimin tersebut mendapat banyak respons. Di media sosial, pendukung Muhaimin langsung menjodohkan Jokowi dengan Muhaiminin. Tagar #JokowiCakImin pun ramai di Twitter.
Namun, tidak hanya Muhaimin yang diajak Jokowi. Saat peresmian selesainya renovasi stadion tenis terbuka dan tertutup di Senayan, Jakarta, 3 Februari lalu, Jokowi juga mengundang Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Romahurmuziy dan Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan. Sebelumnya, Zulkifli juga diterima Presiden di Istana Negara.
Romy (panggilan Romahurmuziy) juga terlihat mendampingi Presiden dalam kunjungan kerjanya di Jawa Timur. Selama seharian Romy tidak hanya di satu kegiatan dengan Presiden, tetapi juga satu kendaraan dengan Kepala Negara. Saat di mobil Mercedes Benz S-600 Pullman Guard itulah Romy aktif memainkan media sosialnya hingga banyak pengguna akun medsos tahu yang dilakukan Jokowi di mobil.
Terkait dengan kehadiran Romy saat di Situbondo, Jawa Timur, Presiden mengatakan, Romy memang dia undang. ”Karena undangannya kemarin dari Pak Kiai disampaikan lewat Pak Romy, makanya saya ajak,” kata Presiden.
Pada 6 Maret lalu, Jokowi menerima Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), putra Ketua Umum Partai Demokrat yang juga presiden keenam RI, Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam pernyataan resmi disebutkan, AHY hadir untuk menyampaikan undangan Rapat Pimpinan Nasional Partai Demokrat akhir pekan lalu. Namun, karena pertemuan tertutup, spekulasi pun muncul.
AHY pun tak banyak berkomentar saat ditanya peluangnya menjadi cawapres pendamping Jokowi. ”Semua itu sangat berpulang kepada Presiden Jokowi. Kita tahu, Presiden kandidat terkuat pada Pilpres 2019,” ujarnya.
Keesokan harinya, yaitu pada 7 Maret, Jokowi mengajak Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh meninjau proyek transportasi massal cepat (MRT) Jakarta. Surya Paloh mendampingi Jokowi menuruni anak tangga dan menyusuri terowongan. Sebelum Presiden meninggalkan acara itu, ia tampak berbincang cukup lama dengan Paloh.
Terkait kehadiran Paloh, saat itu Presiden menyatakan sudah lama tak bertemu Paloh.
Sebelum bertemu AHY dan Paloh, Jokowi juga bertemu dengan jajaran pengurus Partai Solidaritas Indonesia (PSI), kemudian dengan pimpinan Partai Persatuan Indonesia (Perindo) di Istana Merdeka.
Sumber Kompas di lingkungan Istana menyatakan, selain tokoh partai, sejumlah tokoh daerah dan kaum profesional juga masuk daftar sebagai cawapres Jokowi. Mereka antara lain Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Kepala Staf Kepresidenan Jenderal (Purn) Moeldoko, Menko Polhukam Wiranto, dan Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) Tuan Guru Bajang Zainul Majdi.
”Namun, Presiden belum memutuskannya. Bulan Mei atau Juni ini, nama-nama calon itu akan mengerucut,” ujar pejabat Istana tersebut.
Menguji nama
Yunarto Wijaya dari Charta Politika menilai, langkah Jokowi mengundang dan bertemu sejumlah orang di hadapan publik akan menguntungkan Jokowi dan pihak yang diundang.
Bagi Jokowi, pertemuan itu memperkuat sosoknya pada Pemilu 2019. Pasalnya, pascapertemuan, muncul berbagai spekulasi, seperti menjodohkan Jokowi-Muhaimin, Jokowi-Romy, atau Jokowi-AHY.
Di sisi lain, lanjut Yunarto, pertemuan itu juga dapat menjadi bagian dari upaya Jokowi untuk menguji nama yang diundang. Dengan sejumlah pertemuan itu, akan diketahui respons publik jika Jokowi berdampingan dengan sosok seperti Muhaimin, Romy, Anies Baswedan, ataupun Paloh.
Jokowi tampaknya perlu menyiapkan nama di tengah belum jelasnya peluang Jusuf Kalla untuk kembali maju sebagai cawapres pada 2019.
Sementara itu, pengajar Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya, Haryadi, melihat langkah Jokowi itu sebagai bentuk dari karakter politiknya yang cenderung merangkul siapa pun.
”Bahwa para politisi yang diajak Pak Jokowi itu ada yang ’baper’, mungkin iya. Yang jelas, semua memanfaatkan pertemuan dengan Presiden untuk mengapitalisasi kepentingan diri dan partainya,” tuturnya.
Namun, apakah akan ada partai atau sosok politik yang kemudian meninggalkan Jokowi karena ”baper” ternyata tak jadi cawapres pendamping Jokowi? Tentu semua harus menunggu tanggal mainnya. Satu hal yang pasti, hingga pendaftaran capres-cawapres peserta Pemilu 2019 ditutup pada 10 Agustus mendatang, perjalanan politik mungkin akan diisi oleh
sejumlah ”tikungan” yang tak terduga.
(NINA SUSILO/ANDY RIZA HIDAYAT/SUHARTONO)