Kontestasi Berbasis Identitas Sosial
Pola kompetisi dan kontestasi politik di Nusa Tenggara Timur (NTT) cenderung selalu beralas pada sentimen etnis, agama, dan asal daerah. Dalam Pemilihan Gubernur (Pilgub) NTT 2018, hal itu terlihat melalui komposisi calon gubernur yang akan bertarung pada 27 Juni 2018.
”Elite politik NTT masih terpenjara dalam model politik warisan kolonial Belanda-Portugis, di mana dikotomi Flores versus Timor sangat kuat. Hasilnya, terlihat dalam pola pencalonan, di mana figur Timor-Protestan menggandeng wakil dari Flores-Katolik dan sebaliknya,” kata pengajar Komunikasi Politik Universitas Katolik Widya Mandira Kupang, Mikhael Rajamuda Bataona.
Pasangan calon yang sudah ditetapkan oleh KPU NTT untuk maju dalam pilgub adalah Esthon L Foenay-Christian Rotok yang diusung Partai Gerindra dan PAN; Marianus Sae-Emmilia Nomleni yang diusung PDI-P dan PKB; Benny K Harman-Benny A Litelnoni dari Demokrat, PKPI, dan PKS; serta Viktor Bungtilu Laiskodat-Joseph Nae Soi yang diusung Partai Golkar, Nasdem, dan Hanura.
Paslon Esthon L Foenay- Christian Rotok serta Viktor Bungtilu Laiskodat-Joseph Nae Soi mencerminkan konfigurasi unsur Timor-Protestan yang berpasangan dengan Flores-Katolik. Sebaliknya, Marianus Sae-Emmilia Nomleni dan Benny K Harman-Benny A Litelnoni mencerminkan konfigurasi unsur Flores-Katolik berpasangan dengan Timor-Protestan.
Paket cagub tersebut didominasi wajah-wajah lama yang pernah bertarung di Pilgub 2013 dan 2008. Ini mengindikasikan,
pola kontestasi dalam pilgub kali ini tidak akan jauh berbeda dengan pilkada sebelumnya, yaitu mengakomodasi perbedaan berdasarkan latar belakang etnis, agama, dan asal daerah para kandidat.
Peta kontestasi
Konfigurasi primordial ini membuat para figur yang bertarung tak akan mendapat dukungan dari basis kulturalnya secara utuh lantaran paket-paket cagub ini saling mengikis basis kulturalnya masing-masing. ”Ini yang namanya komposisi jeruk makan jeruk karena semua pasangan paket berasal dari daerah yang sama,” kata sosiolog Universitas Muhammadiyah Kupang, Achmad Atang.
Komposisi itu akhirnya membuat tidak ada calon yang memiliki basis kultural benar-benar solid, meski mereka berasal
dari kelompok yang dominan di NTT. Benny K Harman, misalnya, meski dari Manggarai dengan basis kultural yang solid di Flores, belum tentu bisa menjamin kemenangannya di Manggarai ataupun Flores. Kondisi yang sama juga bisa dialami Marianus Sae yang berpeluang menguasai basis kultural di luar Manggarai.
Saat ini, peta kontestasi Pilgub NTT mungkin kembali berubah setelah KPK menetapkan Marianus Sae sebagai tersangka kasus korupsi. Menurut Achmad Atang, setelah penahanan Marianus, semua peserta pilgub akan berkonsentrasi memecah kekuatannya di Flores. ”Flores akan menjadi arena perebutan baru karena dominasi pemilih ada di Flores,” kata Atang.
Flores menjadi penting untuk memenangi Pilgub NTT karena 40 persen pemilih terkonsentrasi di daerah itu. Mikhael Rajamuda memperkirakan, sebagian besar pemilih Marianus di Flores
akan mengalihkan dukungannya ke mereka kepada figur yang identitas etnis dan agamanya lebih dekat dengan mereka, yaitu antara Benny, Rotok, atau Joseph.
Pergeseran suara pendukung Marianus kepada cagub lain dengan mengikuti identitas sosial mengindikasikan pertautan yang kuat antara wilayah, etnis, dan agama masih berperan dalam menentukan preferensi politik. Pertautan ini menghasilkan peta politik yang sangat kental orientasi primordialnya. Primordialisme inilah yang dibingkai dalam kontestasi politik dalam rangka mengakomodasi dikotomi ketiga aspek tersebut.
Segregasi sosial
Segregasi sosial di NTT bisa ditelusuri melalui akronim ”Flobamora” yang merepresentasikan pulau-pulau utama, yaitu Flores, Sumba, Timor, dan Alor. Komposisi wilayah ini mencerminkan entitas kesukuan dari klan atau subetnis yang ada di dalamnya.
Saat ini, NTT memiliki 21 kabupaten dan 1 kota yang terdistribusi secara variatif di pulau-pulau utama tersebut. Di Flores ada 9 kabupaten, Timor terdapat 7 kabupaten dan 1 kota, Sumba 4 kabupaten, dan Alor 1 kabupaten. Melalui wilayah administratif inilah segregasi sosial berdasarkan agama, etnis/klan terbentuk dalam perjalanan waktu dan makin terlihat.
Menurut Atang, perilaku pemilih beragama Katolik dan Kristen di NTT menjadi komponen penting untuk melihat peta persaingan antarkandidat. Pemilih Katolik cenderung konservatif dalam memilih pemimpin sementara yang Protestan lebih egaliter. ”Ini lebih dipengaruhi oleh kultur ketimbang doktrin agama,” kata pria kelahiran Adonara, Flores Timur, ini.
Mengamati fenomena dikotomi karakter pemilih berdasarkan agama ini, Uskup Agung Kupang Mgr Petrus Turang mengatakan, sejak Pilgub NTT secara langsung tahun 2008, para pemilih sudah terkotak berdasarkan kedua agama besar di provinsi ini.
”Gereja Katolik dalam setiap pilkada selalu bersikap netral kepada semua calon kepala daerah. Tidak ada perintah atau arahan untuk memenangkan calon kepala daerah yang beragama Katolik,” kata Uskup Petrus di Keuskupan Agung Kupang.
Dengan peta kontestasi yang ketat ini suara umat Islam bisa menjadi penyumbang suara yang menentukan peluang kemenangan kandidat. Umat Islam di NTT, yang umumnya pendatang, punya preferensi yang lebih cair terhadap cagub.
Meski demikian, menurut Atang, orang Islam di NTT lebih kuat afiliasi politiknya kepada geografis atau wilayah domisili mereka. ”Orang Islam di Flores cenderung akan memilih cagub dari Flores, sedangkan orang Islam Timor cenderung akan memilih cagub dari Timor,” kata Atang.
Preferensi umat Islam berdasarkan wilayah domisili ini juga diamini Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) NTT Abdulkadir Makarim. ”Umat Islam prinsipnya terbuka terhadap semua cagub yang ada,” katanya.
Tantangan
NTT masih menjadi provinsi yang identik dengan kemiskinan karena jumlah penduduk miskin di daerah ini masih terbilang sangat tinggi. Data Badan Pusat Statistik NTT tahun 2016 menunjukkan, jumlah penduduk miskin di NTT pada September 2017 sebesar 1.134.740 orang (21,38 persen) dari 5,2 juta penduduk.
Kondisi ini masih relatif sama dengan tahun 2015 dan 2016 di mana NTT menjadi provinsi termiskin nomor tiga di Indonesia di atas Papua dan Papua Barat. Meskipun tren jumlah penduduk miskin mengalami penurunan dibandingkan dengan 2015, jumlahnya tak signifikan mengangkat NTT ke peringkat lebih baik.
Ada 16 kabupaten/kota yang berhasil menurunkan jumlah penduduk miskin. Sebaliknya, 6 kabupaten lain jumlah penduduk miskin justru meningkat. Keenam kabupaten tersebut adalah Kupang, Flores Timur, Sikka, Ende, Sumba Tengah, dan Sumba Barat Daya.
Kendati demikian, dari segi kualitas kesejahteraan hidup, NTT merupakan salah satu provinsi yang perlahan mampu meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sejak tahun 2010. Dalam kurun waktu 2010-2016, IPM di 22 kabupaten/kota menunjukkan kenaikan. Kabupaten Ende, Ngada, dan Kota Kupang mencatat kenaikan IPM yang tinggi.
Persoalan lain yang kini dihadapi NTT adalah kesenjangan pembangunan infrastruktur di beberapa wilayah. Di Flores yang luas seluruhnya 13.540 kilometer persegi, memiliki beberapa daerah yang pembangunan infrastrukturnya tertinggal. Jalur pantai utara dari Kabupaten Sikka, Ende, dan Nagekeo mencerminkan potret ketertinggalan NTT di pulau ini.
Jalan poros bagian utara pulau ini dalam kondisi mengenaskan karena di beberapa bagian ambles dihantam ombak pantai. Ruas jalan di Kabupaten Ende hingga Nagekeo ini tidak laik dilewati mobil. Padahal, mobilitas kendaraan, manusia, dan barang cukup tinggi.
Kegiatan ekonomi masyarakat yang selama ini berorientasi pada pertanian mulai berkurang seiring dengan berkembangnya jenis industri baru di NTT. Data produk domestik regional bruto NTT menunjukkan, dalam kurun waktu 2010-2016 kegiatan ekonomi di bidang pertanian masih mendominasi, tetapi proporsinya terus turun. Sebaliknya, industri baru yang mulai merambah perekonomian daerah adalah sektor konstruksi, perdagangan besar dan eceran, transportasi, serta pergudangan.
Kegiatan sektor industri baru itu masih terbilang kecil dibandingkan dengan kegiatan sektor pertanian. Namun, sektor ini terus bertumbuh dari tahun ke tahun. Agar sektor ini bisa terus berkembang dan mendorong kemajuan daerah, pembangunan infrastruktur jalan di kawasan utara harus menjadi prioritas.
(Sultani/Litbang Kompas)