Cermin Toleransi dari Timur Indonesia
“Tara miti tomi nuku....”
Sayup azan Isya dari Masjid Babul Khair, Desa Wolwal, Kelurahan Moru, Alor, selesai berkumandang. Ariyance (54), ibu Kepala Desa Moramam, mengingatkan sejumlah anak asal desanya yang merupakan kontingen Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) untuk menunaikan shalat terlebih dulu sebelum acara pembukaan kontes membaca Al Quran antardesa pada Jumat (16/3) itu dimulai.
Ariyance juga sigap mengatur makanan kecil, berupa pisang goreng dan dadar gulung yang baru matang, di sejumlah piring untuk diberikan kepada anak-anak dan para tamu dalam acara itu. Sesekali ia kembali ke dapur untuk memastikan makanan masih tersedia agar para peserta dan tamu yang datang tidak kehabisan.
Sudah dari tahun ke tahun Ariyance menyisihkan waktu untuk anak-anak yang mewakili desanya dalam ajang MTQ XXXII. Dari urusan penginapan, makan, hingga kebutuhan sehari-hari para kontestan muda itu menjadi tanggung jawab Ariyance. Padahal, dirinya adalah pemeluk agama Kristen Protestan. ”Ini anak- anak saya juga. Sudah biasa seperti ini. Nanti kalau ada kegiatan Pesparawi (Pesta Paduan Suara Gerejawi), mereka ganti membantu,” ujarnya.
Sementara itu, seusai shalat, para warga dan peserta membaur di halaman masjid untuk mengikuti acara pembukaan kontes tahunan itu. Acara diawali dengan tarian dari para remaja masjid diiringi musik kasidah. Selanjutnya, giliran remaja
gereja yang tampil di panggung pembukaan MTQ. Para pemuka dari berbagai agama pun
hadir. Bahkan, panitia acara di masjid tersebut adalah seorang kristiani.
Uluran tangan tanpa memandang sekat perbedaan ini juga dipraktikkan ketika mendirikan rumah ibadah. Di puncak bukit Kelurahan Moru yang berjarak 18 kilometer dari Kalabahi, ibu kota Alor, berdiri Gereja Katolik Santa Maria dari Fatima Kalongbuku yang dibangun oleh warga Muslim. Begitu pula sebaliknya, masjid dan mushala di Alor dibangun atas bantua umat Kristen dan Katolik.
”Rasa kekeluargaan yang melandasi sehingga jarang ada konflik yang dipicu perbedaan. Rumah ibadah semua agama juga terfasilitasi karena inisiatif bersama,” ujar Romo Bento Ninu.
Suku tradisional yang mendiami Desa Takpala, Kecamatan Alor Tengah Utara, juga tak ketinggalan. Kebiasaan untuk menyembelih babi dalam ritual jelang masa tanam yang biasanya jatuh pada bulan Juli juga disesuaikan. Tetua adat di Takpala Abner Yetimau mengungkapkan, ada tambahan kambing dan ayam untuk dikurbankan dalam upacara tersebut karena kini sebagian warga beragama Islam.
Pesisir dan gunung
Di balik keharmonisan warga Alor, daerah itu pernah terjerembab dalam persoalan perbedaan pada awal abad ke-19 saat Islam dan Kristen mulai masuk.
Dari riset yang dilakukan Syarifuddin R Gomang berjudul The People of Alor and their Alliances in Eastern Indonesia: A Study in Political Sociology disebutkan, pesisir atau watang diidentikkan dengan Islam dan woto yang berada di pegunungan merujuk pada Kristen. Dikotomi ini sempat mengundang masalah yang kemudian dituntaskan secara adat melalui sumpah
darah yang dikenal dengan istilah bela.
Abner sebagai tetua adat tidak menampik munculnya dikotomi tersebut di Alor. Namun, perbedaan tersebut lebur dalam sebuah tarian pemersatu, yaitu lego-lego. Tarian ini dibawakan beramai-ramai dengan membentuk lingkaran sambil mengentakkan kaki. Semua warga tanpa terkecuali akan masuk dalam lingkaran sambil bergandengan (pesisir) dan berangkulan (gunung), lalu bergerak berputar mengelilingi sebuah batu yang disebut mezbah sambil mengikuti irama dan syair yang dinyanyikan tetua dalam suatu ritual.
Cora du Bois dalam buku berjudul The People of Alor: A Social-Psychological Study of an East Indian Island mengatakan, tarian pemersatu ini awalnya dilakukan semalam suntuk. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, durasi tarian disesuaikan tanpa mengurangi nilai kebersamaan dan persatuan yang berusaha dibangun.
Hampir semua warga di seluruh Alor menarikannya. Bahkan, tarian lego-lego kerap dimunculkan ketika menyambut tamu yang datang ke Alor atau dalam acara tertentu.
Berbagai adat tradisi itu pula yang meyakini isu berbau suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) tidak mempan digunakan untuk memecah belah saat Pilkada 2018. Dua pasangan calon yang maju di Kabupaten Alor, yaitu Amon Djobo-Imran Duru dan Imanuel Blegur-Taufik Nampira, bahkan merupakan kombinasi perwakilan dari ragam agama yang ada di daerah itu.
Camat Alor Barat Daya Saipuddin Djawa mengatakan, isu politik identitas jarang digunakan para pasangan calon sebagai alat politik untuk mendulang kemenangan dalam pilkada. Mobilisasi tersebut dianggap tidak manjur dijadikan senjata di Alor mengingat tingginya rasa kekeluargaan dan toleransi di tengah masyarakat.
Dari 26.230 warga yang menghuni Kecamatan Alor Barat Daya, mayoritas memang penganut Kristen Protestan. Namun, sebagian desa di Kecamatan Alor Barat Daya, seperti Desa Tribur dan Desa Probur Utara, kepala desanya beragama Islam.
Menurut Saipuddin, program kerja dan kemauan calon kepala desa untuk memajukan masyarakat yang menjadi pedoman
para warga untuk menjatuhkan pilihan. Hal yang sama umumnya dilakukan masyarakat saat memilih bupati atau gubernur. ”Isu agama tidak ada. Tidak mungkin ribut masalah agama,” ujarnya.
Dengan berpegang pada modal besar ini, perbedaan dapat ditepis. Pilkada pun dapat dikembalikan sebagai sarana memilih pemimpin berbasis kompetensi dan rekam jejak kinerja, bukan masalah identitas yang rawan memecah belah. Semoga....
(RIANA A IBRAHIM/AGNES THEODORA)