JAKARTA, KOMPAS – teritorial TNI AD menjadi alat yang efektif dalam melakukan pencegahan terorisme. Upaya pencegahan ini dilakukan secara terbuka dan persuasif.
“Terorisme kan ada di sekitar masyarakat. Sementara pembinaan teritorial dilakukan di masyarakat, jadi kalau ada terorisme berkembang di masyarakat, babinsa bisa mendapat laporan,” kata Komandan Pusat Teritorial TNI AD Mayor Jenderal Hartomo, Senin (26/3), dalam pertemuan dengan media dan organisasi wartawan. Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Abdul Manan mengatakan, diperlukan komunikasi yang baik antara TNI dan media agar tidak ada salah pengertian.
Menurut Hartomo, adanya benih terorisme bisa dideteksi oleh bintara pembina desa (babinsa). Ia mengatakan, hal ini dilakukan secara terbuka. Misalnya, kalau ada kalimat-kalimat yang provokatif dan mengarah pada ideologi terorisme, babinsa bisa mendapat informasi dari masyarakat. Informasi ini bisa diteruskan pada Badan Nasional Penanggulangna Terorisme (BNPT) untuk kemudian ditindaklanjuti Polri. “Binter itu bukan operasi intelijen yang tertutup,” katanya.
Upaya persuasif juga bisa dilakukan, misalnya dengan berkomunikasi intensif dengan masyarakat. “Bahkan, bisa saja babinsa bikin penyuluhan-penyuluhan atau bakti sosial bersama masyarakat untuk mencegah paham-paham yang radikal,” kata Hartomo.
Selain upaya pencegahan, pembinaan teritorial juga efektif untuk upaya rehabilitasi. Pasalnya, rehabilitasi membutuhkan situasi yang kondusif dalam membina hubungan dengan masyarakat bagi mantan pelaku terorisme. Hal ini bisa difasilitasi oleh babinsa. Namun Hartomo mengatakan, pembagian tugas dengan Polri akan ditentukan oleh undang-undang. Selama ini sudah ada beberapa kerja sama yang efektif seperti dalam upaya penanggulangan terorisme di Poso. “Tapi untuk binter memang tidak terlibat dalam penindakan aksi terorisme,” kata Hartomo.
Muslim Ayub, anggota Komisi III DPR RI mengatakan, semua fraksi di DPR telah sepakat akan pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme. Akan tetapi, pembatasannya dan pembagian tugas TNI dan Polri diserahkan pada presiden untuk mengaturnya dalam peraturan presiden. “Lebih cepat, lebih baik Pepresnya keluar, walaupun kita mintanya satu tahun,” kata Muslim.
Hartomo menampik tudingan bahwa keterlibatan militer dalam pemberantasan terorisme bisa memicu pelanggaran HAM. Pasalnya, anggota TNI sudah tahu bagaimana menjalankan tugas pokoknya dengan baik dan benar, termasuk tidak melanggar HAM.
Sementara menurut Muslim Ayub, untuk menghindari adanya tudingan pelanggaran HAM oleh aktor-aktor keamanan, perlu ada pengaturan yang jelas dalam Perpres. “Jangan sampai TNI tidak dilibatkan dengan optimal, karena mereka punya kemampuan,” kata Muslim.
Muslim mengatakan, pelibatan TNI dalam upaya pemberantasan terorisme harus diberbagai lini, termasuk pencegahan dan rehabilitasi. Muslim mengatakan, walaupun sudah sepakat terkait dengan pelibatan TNI, saat ini Panitia Khusus RUU Antiterorisme masih bergelut dengan definisi. Hal ini menurutnya sangat sulit karena ada berbagai versi dari definisi tersebut.
Terkait dengan wacana penambahan jumlah Babinsa oleh Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, Hartomo mengatakan, pihaknya menyambut baik. Menurutnya, tugas utama babinsa adalah membantu masyarakat. Oleh karena itu, posisinya harus dekat dengan masyarakat. “Gimana bantu rakyat kalau tidak dekat,” katanya.
Menurut Hartomo, jumlah Babinsa sebenarnya belum cukup. Namun, mereka kini difungsikan secara optimal. Jumlah penambahan Babinsa menurutnya akan dirumuskan lebih lanjut di Mabes TNI AD.