JAKARTA, KOMPAS – Komitmen untuk memberantas tindak pidana perdagangan orang dinilai masih setengah hati. Penangkapan dan penggrebekan yang dilakukan aparat penegak hukum terhadap jaringan sindikat berkedok penyalur tenaga kerja ini tidak ditindaklanjuti secara komprehensif sehingga perdagangan orang masih terjadi.
Pekan lalu, Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara RI menangkap seseorang dengan kewarganegaraan Suriah, Mohammad Al Ibrahim, di Jakarta Timur yang merupakan agen dari sindikat dengan modus penyalur tenaga kerja ini. Dalam melaksanakan aksinya, ia dibantu seorang warga negara Indonesia Budi Setyawan yang ikut ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka.
Sindikat ini berkaitan dengan pengiriman 75 orang ke Sudan sejak November 2017 hingga Februari 2017. Mereka yang dikirim dijanjikan memperoleh pekerjaan di Sudan, tapi faktanya mereka bekerja tanpa menerima gaji bahkan mengalami kekerasan dan pelecehan seksual.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Mabes Polri Komisaris Besar (Pol) M Iqbal, di Jakarta, Senin (26/3) menjelaskan pihaknya tengah berupaya menjalin kerja sama dengan pemerintah Sudan untuk dapat menangani perkara ini sekaligus memulangkan para tenaga kerja asal Indonesia tersebut.
“Kami sedang kerja sama. Polisi tidak akan setengah-setengah menangani kasus ini. Kami sedang melakuakn pengumpulan alat bukti dan koordinasi dengan semua pihak, termasuk otoritas sudan. Penetapan tersangka ini menjadi pintu pembuka,” kata Iqbal.
Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo berharap penangkapan yang dilakukan aparat penegak hukum ini diikuti komitmen untuk membongkar sindikat itu.
“Langkah lanjutan jarang dilaksanakan. Hanya tindakan sesaat saja. Memang ada penggrebekan dan penangkapan tapi kemudian tidak ditindaklanjuti oleh penegak hukum. Hanya berhenti pada pelaku tersebut, tidak ditelusuri hingga pemilik sindikatnya,” ujar Wahyu.
Padahal, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dapat menjadi instrumen untuk menghukum berat para pelaku. Akan tetapi, pemidanaan ini kerap menemui hambatan lantaran penanganannya tumpang tindih antara penegak hukum dengan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI)
“BNP2TKI menggunakan mekanisme mediasi. Tindakannya sudah jelas pidana tapi digunakan mediasi, ini jadi masalah,” kata Wahyu.
Selain itu, ada celah lain yang dimanfaatkan pelaku. Pada 2015, pemerintah mengeluarkan kebijakan moratorium pengiriman tenaga kerja Indonesia, khususnya pembantu rumah tangga ke negara di Timur Tengah melalui Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor 260 Tahun 2015. Namun kenyataannya, moratorium tersebut tidak sepenuhnya berjalan.
Sebagian pihak masih ada yang mengirim tenaga kerja dengan dalih perjalanan ibadah, ziarah, hingga mengunjungi keluarga. Ada pula yang memanfaatkan pernyataan pemerintah terkait rencana penempatan uji coba tenaga kerja di Timur Tengah.
“Pernyataan ini dijadikan landasan bahwa sudah boleh mengirim lagi, padahal itu baru rencana. Tapi temuan di lapangan sudah ada yang mulai merekrut,” ungkap Wahyu.