JAKARTA, KOMPAS — Posisi Deputi Penindakan Komisi Pemberantasan Korupsi yang ditinggalkan Brigadir Jenderal (Pol) Heru Winarko sebagai Ketua Badan Narkotika Nasional segera terisi. Tiga nama yang berasal dari kepolisian dan kejaksaan sedang diuji oleh pimpinan KPK untuk ditentukan dalam waktu dekat.
Mereka adalah Kepala Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat Brigjen (Pol) Firli, Direktur Eksekusi dan Eksaminasi pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung Wisnu Baroto, serta jaksa fungsional yang bertugas di Dewan Ketahanan Nasional, Witono. Mereka berhasil menyisihkan tujuh nama lainnya.
”Tiga orang ini merupakan hasil seleksi dari pihak eksternal KPK yang meliputi proses administrasi, tes potensi, bahasa, dan tes kompetensi. Wawancara juga sudah dilakukan pada pekan ini. Dalam waktu yang tidak terlalu lama akan ditentukan siapa yang layak. Akan tetapi, masukan dari masyarakat tetap diperlukan berkaitan dengan rekam jejak,” kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah, Selasa (27/3).
Tim pelacakan rekam jejak para calon secara internal juga sudah dibentuk oleh KPK. Sebab, kriteria mendasar yang harus dipenuhi untuk menduduki jabatan itu adalah teruji secara integritas dan loyalitas terhadap KPK. Tanpa kedua hal ini, sepak terjang KPK dalam bidang penindakan dipertaruhkan.
Berdasarkan penelusuran Kompas, sebelum menjabat sebagai Kapolda NTB, Firli pernah duduk sebagai Wakapolda Jawa Tengah dan ajudan Wakil Presiden RI Boediono. Sementara Wisnu Baroto pernah mengikuti seleksi sebagai Direktur Penuntutan KPK, tetapi kalah bersaing dengan rekannya dari kejaksaan, yaitu Warih Sadono. Adapun Witono berpengalaman sebagai Kepala Kejaksaan Negeri Malang dan Asisten Tindak Pidana Umum Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat.
Secara terpisah, Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah sekaligus pendiri Madrasah Antikorupsi Dahnil Azhar Simanjuntak menilai, seleksi untuk jabatan deputi tidak dilakukan secara terbuka. Menurut dia, dominasi dari dua institusi penegak hukum yang memperebutkan posisi strategis ini berdampak pada kinerja dan independensi KPK dalam menangani perkara.
”Loyalitas ganda terhadap instansi asal yang berujung pada terganggunya kinerja dan independensi KPK menjadi masalah serius di internal KPK. Kalaupun hanya berasal dari dua instansi itu, diperlukan komitmen dari pejabat terpilih untuk mengundurkan diri dari lembaga asal agar dapat optimal menjalankan tugas,” kata Dahnil. (IAN)