ARTA, KOMPAS — Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menjatuhkan pidana 12 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan kepada Gubernur (nonaktif) Sulawesi Tenggara Nur Alam. Ia juga dihukum membayar uang pengganti Rp 2,7 miliar serta hak politiknya dicabut selama lima tahun setelah menjalani masa pidana.
”Majelis hakim sependapat dengan penuntut umum yang mengajukan pencabutan hak politik karena terdakwa dipilih oleh rakyat, tetapi mengecewakan dengan mengambil keuntungan dari rakyat dan telah mencederai demokrasi,” kata Ketua Majelis Hakim Siti Basaria saat membacakan putusan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu (28/3) yang disambut helaan kecewa dari para pendukung yang memadati ruang sidang.
Putusan yang dijatuhkan majelis hakim lebih rendah dari tuntutan jaksa, 18 tahun penjara dengan denda Rp 1 miliar subsider 1 tahun kurungan ditambah uang pengganti sebesar Rp 2,7 miliar yang harus dibayarkan dalam satu bulan atau pidana penjara selama 1 tahun.
Dalam pertimbangannya, Nur Alam terbukti menerima suap dalam penerbitan izin usaha pertambangan nikel untuk PT Anugrah Harisma Barakah yang berafiliasi dengan PT Billy Indonesia seluas sekitar 3.000 hektar di Pulau Kabaena, Kabupaten Buton dan Bombana, Sulawesi Tenggara. Tindakan itu mengakibatkan kerugian negara Rp 1,5 triliun. Majelis hakim tidak sependapat dengan jaksa terkait kerugian akibat kerusakan lingkungan yang jika dihitung bernilai Rp 2,7 triliun.
Atas penerbitan izin itu, Nur Alam memperoleh uang hingga Rp 2,7 miliar dari PT Billy Indonesia. Uang itu digunakan untuk membeli tanah dan rumah elite di wilayah Cipayung, Jakarta Timur, atas nama Ridho Insana, pegawai protokoler Sekretariat Daerah Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara.
Selain suap, Nur Alam juga terbukti menerima gratifikasi hingga Rp 40 miliar dari Richcorp International pada 2010. Gratifikasi itu ditempatkan di rekening sekuritas terpisah. Pemberian gratifikasi berkaitan dengan penjualan nikel yang dilakukan PT AHB kepada Richcorp International yang berkantor di Hong Kong.
Atas putusan itu, Nur Alam menyatakan langsung banding. Sementara itu, jaksa KPK, Nur Aziz, memilih untuk pikir-pikir.