Sosialisasi yang lebih gencar dibutuhkan karena sejauh ini opsi mengubah peraturan agar partai politik dapat mengganti calon kepala daerah yang merupakan tersangka korupsi menghadapi sejumlah kendala. Rencana mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu), merevisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, ataupun merevisi Peraturan KPU tentang Pencalonan sulit direalisasikan karena antara pemerintah, KPU, dan partai-partai di DPR tidak sejalan.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini saat dihubungi di Jakarta, Jumat (30/3), mengatakan, sosialisasi yang dilakukan oleh KPU daerah sejauh ini belum maksimal. Akhirnya, masyarakat cenderung mendapat informasi yang hanya sepotong- potong atau sudah dikonstruksi sedemikian rupa untuk menyelamatkan elektabilitas calon terkait yang bermasalah.
”Pemilih harus tahu masalah hukum yang dihadapi para calon itu dengan tepat, tanpa ada distorsi informasi, supaya mereka tidak salah memilih,” kata Titi.
Saat Kompas berkunjung ke sejumlah daerah di Nusa Tenggara Timur (NTT), pertengahan Maret lalu, misalnya, masyarakat pemilih yang ditemui ada yang tidak tahu bahwa calon gubernur dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Marianus Sae, tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena kasus suap. Beberapa pemilih lain merasa tidak masalah jika calon kepala daerahnya adalah seorang tersangka korupsi.
Dalam kampanye pasangan Marianus-Emilia Nomleni di Kecamatan Oinlasi, Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT, 15 Maret lalu, opini yang dibangun oleh tim pemenangan Marianus-Emilia adalah bahwa KPK tidak memiliki bukti kuat untuk menjerat Marianus.
”Jangan pernah salah memilih. Ketika orang mengatakan ada OTT (operasi tangkap tangan), tidak ada buktinya. Itu hanya badai drama permainan politik,” kata istri Gubernur NTT Frans Lebu Raya, Lusia Adinda Lebu Raya, yang saat itu berkampanye untuk Emilia Nomleni.
Masyarakat pemilih pun sebagian memercayai informasi yang disampaikan dalam kampanye itu. ”Apa pun yang terjadi, saya tetap pilih Marianus. Lagi pula, belum tentu Marianus benar korupsi, kan?” ujar Jon Ati (45), warga Oinlasi.
Regulasi
Sejauh ini, upaya politik untuk mengubah peraturan mengenai calon kepala daerah berstatus tersangka masih menemui kendala. KPU tetap menolak merevisi PKPU tentang Pencalonan dengan beralasan tidak ada dasar hukum di Undang-Undang Pilkada yang memungkinkan aturan tersebut diubah. Sementara itu, pemerintah menolak mengeluarkan perppu.
Sejumlah fraksi partai politik pendukung pemerintah di DPR mendorong agar pemerintah mengeluarkan perppu atau merevisi UU Pilkada secara terbatas dan kilat untuk memungkinkan partai mengganti calonnya yang menjadi tersangka korupsi.
”Kami di koalisi merasa ada kekosongan hukum yang sebenarnya dapat menjadi dasar urgensi pemerintah mengeluarkan perppu,” kata anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Achmad Baidowi.
Namun, Wakil Ketua Komisi II dari Fraksi Partai Gerindra Ahmad Riza Patria mengatakan, upaya tersebut sulit dilakukan. Fraksi-fraksi nonpemerintah di DPR belum tentu bersedia menyetujui perppu ataupun merevisi undang-undang secara kilat sebelum Juni 2018.
”Seharusnya pemerintah mendorong KPK dan penegak hukum lainnya untuk segera memproses, mengumumkan, memeriksa, siapa pun calon yang terjerat korupsi,” katanya.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly mengatakan, pihaknya menolak usulan agar pemerintah menerbitkan perppu. Saat ini pemerintah dan KPU tengah membahas tentang kemungkinan merevisi Peraturan KPU. Ia berharap KPU mencari solusi lain yang tak bertabrakan dengan UU untuk menyelesaikan masalah tersebut.
”Kita serahkan kepada KPU. Saya kira itu jalan keluar yang diambil KPU. KPU harus kreatif agar solusi tidak bertentangan dengan UU,” kata Yasonna.
Selain itu, tambahnya, usulan untuk mengganti calon kepala daerah yang menjadi tersangka ketika proses pilkada belum selesai tidak adil. Ditambah lagi, partai politik akan sulit mencari calon pengganti.
”Ada orang yang sudah beberapa bulan lalu kampanye sosialisasi. Tidak adil kalau diganti, terus ada yang mau jadi calon,” kata Yasonna. (AGE/EDN)