Berdasarkan hasil jajak pendapat Kompas pekan lalu, hampir 70 persen responden memaknai hak pilih sebagai ”kewajiban”. Artinya, hak pilih dipahami sebuah keharusan rakyat untuk berpartisipasi dalam menentukan sosok pemimpin di pemerintahan dan wakilnya di parlemen, baik di tingkat nasional maupun daerah.
Hal ini juga berarti sebagian besar responden memandang, memilih di pemilu atau pilkada jadi tanggung jawab warga negara untuk turut menentukan nasib negara atau daerahnya lima tahun ke depan. Pemaknaan ini tentu berbeda dengan pengertian hak itu sendiri, yang artinya tidak wajib. Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya, Ramlan Surbakti memaknai hak pilih sebagai keikutsertaan warga negara yang merupakan serangkaian kegiatan membuat keputusan, apakah memilih atau tidak memilih dalam pemilu (Ramlan Surbakti, 2007).
Meskipun hak, jika dirunut, memilih merupakan bagian dari hak asasi manusia (HAM) yang melekat dan tak dapat dihilangkan. Dalam Deklarasi Universal HAM oleh Majelis Umum PBB 10 Desember 1948 melalui Resolusi 217 A (III), pada Pasal 21 Ayat 3 disebutkan, hak pilih merupakan wujud dari kehendak rakyat yang jadi dasar kekuasaan pemerintah. Jaminan atas hak pilih lalu diperkuat dalam Kovenan Internasional Hak-hak Politik yang ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum 2200 A (XXI) pada 16 Desember 1966. Di kovenan ini, memilih disebut sebagai sesuatu yang universal dan sama sebagai ekspresi kebebasan menyatakan keinginan dari pemilih.
Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional Hak-hak Politik yang lalu dituangkan dalam UU No 12/2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights. Hak pilih juga diperkuat sebagai bagian dari hak asasi di Indonesia. Setidaknya hal ini tertuang dalam Pasal 23 UU No 39/1999 tentang HAM, yang menyatakan, ”Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya”.
Kuatnya basis regulasi di atas menjadikan mayoritas (96 persen) responden jajak pendapat sepakat, hak pilih adalah hak asasi yang tak bisa dihilangkan begitu saja. Maka, saat KPU mengatakan, ada potensi 6,7 juta pemilih terancam kehilangan haknya pada Pilkada 2018, sebagian besar responden jajak pendapat berharap ada jaminan hak pilih itu tetap bisa digunakan.
KTP elektronik
Salah satu hal krusial yang menyebabkan 6,7 juta pemilih terancam kehilangan hak pilih pada Pilkada 2018 adalah terkait kepemilikan kartu tanda penduduk elektronik ataupun surat keterangan pengganti KTP-el. Seperti diatur di Pasal 200A Ayat 4 UU No 10/2016 tentang Pilkada, KTP-el jadi acuan pendataan daftar pemilih tetap (DPT) dan syarat ikut Pilkada 2018. KTP-el juga akan digunakan sebagai basis data pemilih pada Pemilu 2019. Hal ini tertuang pada Pasal 348 UU No 7/2017 tentang Pemilu.
Sebelumnya, KPU mengungkapkan, apabila saat penetapan DPT pada 13-19 April 2018 nama calon pemilih tidak ada dalam basis data kependudukan atau belum punya KTP-el ataupun surat keterangan pengganti KTP-el, nama mereka akan dikeluarkan dari DPT (Kompas, 21/3/2018).
Terkait persoalan tersebut, sebagian besar responden (71,8 persen) jajak pendapat menilai negara tetap harus menjamin hak calon pemilih yang belum punya KTP-el. Sikap ini juga bisa dilihat dari kelompok responden yang mengaku belum memiliki KTP-el, 73,1 persen di antaranya berharap tetap bisa memilih.
Terbongkarnya kasus dugaan korupsi dalam proyek KTP-el dan diikuti dengan banyaknya kasus blangko KTP-el habis membuat publik merasa hilangnya hak pilih karena tidak memiliki identitas elektronik ini menjadi kurang adil bagi calon pemilih.
Menariknya, kondisi ini tidak serta-merta membuat publik antipati. Pilihan untuk tak menggunakan hak pilih alias golput tidak menjadi opsi bagi sebagian besar responden jika mereka diposisikan sebagai pemilih yang tidak bisa menggunakan hak pilihnya. Namun, jika dilihat dari kelompok responden yang belum memiliki KTP-el, ada 23,8 persen responden yang berniat golput jika saat pilkada nanti, bahkan saat Pemilu 2019, tidak diperbolehkan memilih hanya karena belum memiliki KTP-el.
Partisipasi
Penyikapan dari responden yang belum punya KTP-el tentu akan memengaruhi tingkat partisipasi politik. Separuh lebih responden khawatir, syarat kepemilikan KTP-el bisa jadi penghalang penggunaan hak pilih.
Sementara itu, tingkat partisipasi pemilih di ajang kontestasi politik nasional di Indonesia sejauh ini menunjukkan tren penurunan. Pada Pemilu Legislatif 2014, misalnya, angka partisipasi pemilih tercatat 75,1 persen, naik dibandingkan dengan Pemilu 2009. Namun, angka ini masih jauh di bawah tingkat partisipasi Pemilu 1999 yang mencapai 92,7 persen. Hal yang sama terjadi di tingkat partisipasi pemilihan presiden. Di Pilpres 2014, angka partisipasinya 69,5 persen, lebih rendah ketimbang Pilpres 2009 (72,5 persen) dan jauh menurun dibandingkan dengan Pemilu 2004 putaran pertama yang ada pada angka 78,2 persen.
Jika tanpa KTP-el saja tren penurunan partisipasi sudah terjadi, apalagi dengan ketentuan kepemilikan identitas penduduk elektronik? Tentu, sikap sebagian besar responden jajak pendapat yang berharap bagi mereka yang belum memiliki KTP-el tetap mendapat kesempatan untuk bisa memilih harus tetap ditempatkan dalam koridor sesuai dengan undang-undang.
Dengan mengupayakan jaminan hak pilih warga tetap aman, itu akan berdampak pada tingkat partisipasi. Apalagi publik mengakui partisipasi pemilih menentukan kualitas demokrasi.
Kuncinya kini ada di penyelenggara pemilu untuk merumuskan langkah guna mengatasi persoalan ini. Apalagi sebagian besar responden meyakini penyelenggara pemilu akan bekerja profesional, khususnya dalam menjamin hak pilih ini. Bagaimanapun hak pilih seseorang harus diselamatkan karena ini terkait kedaulatan politik. Seperti yang pernah diungkap presiden keempat RI, Abdurrahman Wahid, ”Kedaulatan politik sebuah bangsa akan tampak dengan sendirinya di tangan rakyat pemilih melalui pemilu.” (Yohan Wahyu/Litbang Kompas)