Sebuah surat bertanggal 13 November 2017 dari Kementerian Keuangan kepada Kementerian Pertahanan merujuk hasil rapat internal kabinet. Dalam rapat itu, Presiden Joko Widodo memberi arahan agar dana proyek Korean Fighter Experimental/Indonesian Fighter Experimental tak dicairkan dulu karena ada masalah dalam renegosiasi perjanjian. Surat ini menjadi babak baru dalam program pembuatan pesawat tempur KFX/IFX.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah program itu ditunda atau dibatalkan? Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu menolak berkomentar lebih jauh. ”Tidak tahu,” katanya.
Sementara Inspektur Jenderal Kementerian Pertahanan Letnan Jenderal Agus Sutomo, saat dikonfirmasi, hanya membenarkan bahwa saat ini program KFX/IFX sedang dievaluasi.
Sampai di sini, pertanyaan belum terjawab. Apalagi dua sumber di Kemhan mengatakan, evaluasi tersebut mengarah pada pembatalan dengan alasan politik anggaran. Namun, sumber di Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan serta Kemkeu mengatakan, program tersebut dinilai bagus. Akan tetapi, ada hal yang harus diperbaiki terkait anggaran.
Dalam rapat pada 19 Oktober 2017 di DPR tentang tambahan anggaran Kemhan untuk APBN 2018, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sempat menegur Kemhan. Pasalnya, ada permintaan tambahan Rp 1,8 triliun untuk pembayaran KFX/IFX yang disebutkan tidak dianggarkan pada 2016 dan 2017. Namun, dalam suratnya tanggal 13 November 2017, Kemkeu meminta Kemhan tidak mencairkan sisa Rp 400,6 miliar dari total pagu Rp 984 miliar untuk KFX dalam DIPA Kemhan tahun 2017.
Media militer internasional, Jane’s 360, pada 24 Januari 2018 mengatakan, Indonesia kekurangan uang sehingga keterlibatan dalam proyek KFX/IFX akan dikurangi. Namun, Indonesia tidak akan menarik diri. Disebut bahwa Indonesia menunggak 40 persen dari kewajiban finansialnya.
Program KFX/IFX memang merupakan program yang cukup ambisius sejak ditandatangani. Program membuat pesawat tempur canggih generasi 4,5, yang berarti di atas F-16 C/D tetapi masih di bawah F-22 atau F-35, memang sangat mahal. Kerja sama ditandai dengan penandatanganan perjanjian tahun 2010. Saat itu, diperkirakan hingga 2020 untuk menghasilkan lima purwarupa, Indonesia harus mengeluarkan Rp 13,6 triliun.
Penguasaan teknologi
Ada dua alasan utama program ini diadakan. Pertama, kebutuhan memenuhi postur pertahanan udara. Seiring dengan perkembangan teknologi, udara menjadi ruang utama perang dan pertempuran. Teknologi menjadi penentu. Luasnya wilayah Indonesia membuat ruang udara yang harus dijaga membutuhkan kekuatan udara memadai. Untuk jangka panjang, Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara akan memiliki 50 pesawat IFX, sementara Angkatan Bersenjata Korea Selatan punya 125 KFX. Kerja sama selanjutnya adalah pemasaran dengan potensi sekitar 700 unit.
Kedua, terkait kemandirian dan upaya membangun kemampuan teknologi dirgantara. Penguasaan teknologi pesawat tempur generasi 4,5 terasa masih minim. Peneliti politik Keith Krause menyebutnya, ”terjebak pada technological plateau”. Membuat pesawat tempur butuh latar belakang penguasaan teknologi sebelumnya. Kekurangan dana dan teknologi menyulitkan Indonesia menggapai teknologi lebih maju.
Melalui program berteknologi maju seperti KFX, bisa dikembangkan pula kemampuan rekayasa ahli Indonesia. Kemampuan rekayasa diharapkan bisa menghasilkan manfaat ikutan yang memicu produk atau kemampuan lain. Pada akhirnya, teknologi pertahanan bisa menjadi lokomotif peningkatan kemampuan anak bangsa untuk memberikan nilai tambah bagi pertumbuhan ekonomi secara jangka panjang.
Kali ini, proyek KFX/IFX dihadapkan pada tantangan. Pasar pesawat tempur memang terus berkembang. Tidak heran, banyak pihak yang tidak ingin Indonesia mandiri dalam teknologi dirgantara. Di sisi lain tentunya tidak mudah bagi pemerintah yang selalu dihadapkan pada masalah klasik, yaitu memenuhi kebutuhan jangka pendek atau membuat investasi strategis jangka panjang.