Keharmonisan dalam Subak
Di tengah pesatnya pembangunan wisata di kawasan Canggu, Kuta Utara, Bali, lahan sawah yang memanjang dari daerah Berawa hingga Batu Bolong tetap terjaga. Hamparan padi yang menghijau dan guratan pematang sawah terlihat berbaur dengan titik-titik destinasi wisata yang marak bermunculan di daerah yang dikenal sebagai kawasan hipster (melawan arus utama) itu.
Saat Kompas berkunjung ke Canggu, pertengahan Maret lalu, tampak jalan selebar 3 meter memanjang membelah berpetak-petak sawah milik warga. Untuk mempermudah akses hilir-mudik saat musim panen atau upacara ngaben, warga setempat merelakan masing-masing 1 meter tanah miliknya untuk dijadikan jalan sepanjang satu kilometer tersebut.
Ngurah Bagong (54), warga setempat, menuturkan, pembangunan jalan yang kini bernama Jalan Subak Canggu itu datang dari inisiatif warga, bukan atas permintaan pemerintah. ”Tidak masalah kalau tanah diambil hanya beberapa meter. Di sini sudah biasa bergotong royong, sukarela saling membantu. Sumber air saja saling berbagi, apalagi melepas sedikit lahan untuk buka jalan bersama,” katanya.
Seiring dengan perkembangan Canggu, jalan itu kini jadi salah satu daya tarik wisata. Turis menyebutnya shortcut atau jalan pintas karena membantu memperpendek jarak dari Pantai Berawa ke Batu Bolong dan menghindari macet di jalan utama. Kini, istilah shortcut lebih dikenal dibandingkan dengan Jalan Subak Canggu.
Selain untuk kepentingan panen dan ngaben, kini jalan itu juga diramaikan oleh wisatawan dan peselancar yang ”melompat” dari pantai ke pantai untuk berburu ombak. Dalam berbagai situs jelajah di internet, Jalan Subak Canggu atau shortcut bahkan masuk daftar spot wisata yang tidak boleh dilewatkan karena pemandangan sawah yang hijau di kiri dan kanan jalan.
Hamparan sawah yang ada di perbatasan Desa Canggu dan Tibubeneng itu, salah satu contoh sawah di Bali yang masih menggunakan subak, sistem pengairan lahan sawah yang dikelola secara otonom oleh petani untuk kepentingan bersama dengan berlandaskan prinsip tri hita karana (keserasian hubungan dengan pencipta, sesama, dan alam).
Subak menjadi kearifan lokal masyarakat petani Bali yang tercatat ada sejak tahun 1071. Sejak 2012, subak terdaftar dalam salah satu Warisan Dunia (World Heritage) oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO).
Meski jumlahnya makin berkurang di daerah kota, sistem subak masih dapat ditemukan di banyak perdesaan di Bali.
Dalam sistem subak, ketersediaan air dan kesediaan untuk saling berbagi secara adil menjadi kunci. Setiap sawah berasal dari satu sumber air, dengan sistem pembagian yang dikelola sendiri oleh masyarakat.
Pembagian air dalam sistem subak disesuaikan dengan luas sawah dan keaktifan anggota dalam kegiatan subak. Ada juga pembagian air secara bergilir di mana tiap kelompok persawahan menerima air irigasi di waktu dan musim yang berbeda.
Diusahakan tidak ada yang dirugikan dalam pembagian air itu. Ketika suatu kelompok belum dapat giliran air, mereka mendapat limpahan/pinjaman air irigasi yang disebut pungkatan dari kelompok lain yang dapat jatah. Biasanya, air itu untuk memandikan ternak, menyiram palawija, atau sekadar membasahi tanah dan tanaman.
”Harus sabar dan sadar. Jangan marah kalau jatah air punya kita dikecilkan dulu. Besok-besok, kan, gantian,” kata Ngurah.
Menyelesaikan konflik
Pola hidup dan pembagian kerja seperti yang berlaku di sistem subak, membiasakan masyarakat petani di Bali untuk hidup harmonis. Potensi konflik tetap jadi bagian dari keseharian para anggota subak, misalnya akibat pembagian air yang dianggap tidak adil, pencurian jatah air, batas tanah sawah, atau hewan peliharaan milik anggota yang mengganggu tanaman anggota lainnya. Namun, cara damai selalu diambil untuk menyelesaikan berbagai masalah itu.
I Gde Pitana dalam Subak: Sistem Irigasi Tradisional di Bali menuliskan, konflik yang umumnya muncul dalam sistem subak dapat diatasi di internal masyarakat melalui musyawarah-mufakat di antara pihak-pihak yang terkait. Pekaseh (ketua subak) menjadi mediator dalam berbagai sengketa itu. Asas salunglung-sabayantaka (senasib-sepenanggungan) selalu dikedepankan dalam proses mediasi.
Jika konflik tak bisa diselesaikan secara kekeluargaan, masalah dibawa dalam rapat subak dan penyelesaiannya dilakukan berdasarkan awig-awig (aturan) yang ada. Sepanjang eksistensi subak di Bali, jarang sekali ada konflik yang membutuhkan intervensi dari penguasa, seperti pihak kerajaan atau dalam konteks saat ini, pemerintah.
Guru Besar Fakultas Sastra dari Universitas Udayana I Nyoman Darma Putra mengatakan, masyarakat Bali terbiasa mengonfrontasi konflik secara terbuka tanpa memunculkan kegaduhan atau perkelahian.
Kehadiran Bale Banjar (balai adat) di setiap kawasan permukiman di Bali ikut berkontribusi menjembatani setiap perselisihan yang muncul di masyarakat. Pemanfaatan balai adat itu tidak terpisah dari karakteristik masyarakat Bali yang sangat menghormati adat dan tradisi.
”Membuka ruang dialog dan membahas masalah setuntas-tuntasnya. Versi dari kedua pihak yang bersengketa didengarkan sehingga dengan pemahaman yang lebih komprehensif itu, orang tidak akan destruktif karena perselisihan kecil,” kata Nyoman.
Nilai-nilai dan tradisi yang mengakar di kehidupan orang Bali itu, menurut Nyoman, yang membuat Bali relatif aman ketika kontestasi pilkada. Meskipun ada perbedaan sikap politik di tengah masyarakat, seperti di antara anggota keluarga dan kerabat, hal itu tidak pernah berujung pada perpecahan yang destruktif.
Prinsip hidup rukun, harmonis, dan saling berbagi itu diharapkan dapat kembali menjadi modal kuat di masyarakat saat menghadapi pilkada tahun ini.
Dalam Pilkada 2018, Juni mendatang, di Bali digelar tiga pilkada, yakni pilkada tingkat Provinsi Bali dan pilkada di Kabupaten Gianyar serta Klungkung. Mengacu pada Indeks Kerawanan Pilkada 2018 yang dipetakan Badan Pengawas Pemilu, Bali masuk dalam kategori kerawanan sedang pada dimensi penyelenggaraan.
”Memang, dari segi penyelenggaraan, Pilkada Bali relatif rawan. Namun, itu di luar urusan kohesi dan ketertiban sosial di masyarakat, melainkan lebih di urusan politik elite dan penyelenggara pemilu,” ujarnya.
Kini, eksistensi subak mulai tergerus zaman. Setiap tahun, ada area sawah di Bali yang beralih fungsi. Luas area sawah yang menggunakan sistem subak pun perlahan semakin menyempit. Semoga, ancaman terhadap keberlangsungan subak tidak menjadi pertanda implementasi hidup rukun, adil, dan saling peduli ikut terkikis di Pulau Dewata.
(AGNES THEODORAE/RIANA A IBRAHIM)