Tersangka Jadi Noda dalam Pilkada
Sejak awal Februari 2018, Komisi Pemberantasan Korupsi telah menetapkan delapan peserta Pilkada 2018 sebagai tersangka korupsi. Mereka diproses hukum karena diduga melakukan korupsi dengan sejumlah modus, mulai dari korupsi dalam pembahasan APBD, pendanaan proyek, pengurusan izin, hingga jual-beli jabatan.
KPK menduga, sebagian uang dari hasil korupsi tersebut digunakan untuk mendanai kampanye pilkada yang mereka ikuti.
Sejak Pilkada 2015, pemerintah melalui Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebenarnya telah menanggung empat komponen kampanye, yakni debat publik, penyebaran bahan kampanye, pemasangan alat peraga, dan iklan di media massa. Salah satu tujuan kebijakan ini adalah mengurangi beban biaya kampanye para kontestan. Artinya, pemerintah sudah mengambil alih sejumlah pembiayaan pilkada dari kontestan.
Untuk ikut kontestasi dalam pilkada, para calon sudah memiliki kalkulasi untuk membiayai kerja mesin politiknya. Mesin politik ini bisa berasal dari kader partai pengusung, relawan, simpatisan yang menggerakkan roda dukungan mulai dari konsolidasi internal, mobilisasi isu, mobilisasi massa kampanye, hingga mobilisasi saat pencoblosan. Untuk membiayai semua kegiatan tersebut, para calon kepala daerah harus menyediakan dana yang tak sedikit.
Hasil kajian Penelitian dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri, biaya kampanye pemilihan gubernur berkisar Rp 20 miliar-Rp 100 miliar. Sedangkan untuk pemilihan bupati/wali kota berkisar Rp 20 miliar-Rp 30 miliar (Kompas, 21/2/2018). Di tengah besarnya biaya kampanye tersebut, korupsi menjadi mata rantai yang mengaitkan perilaku mencuri uang negara dengan mahalnya biaya politik.
Peran parpol
Munculnya peserta pilkada yang menjadi tersangka korupsi merefleksikan kegagalan partai politik menciptakan mekanisme penyaringan calon pemimpin yang berkualitas dari internal ataupun eksternal partai.
Hasil jajak pendapat Litbang Kompas menunjukkan, lebih dari tiga perempat responden menilai, terungkapnya kasus korupsi para calon kepala daerah mencerminkan kegagalan parpol mewujudkan organisasi bebas korupsi. Alih-alih memiliki mekanisme penjaringan yang efektif untuk menyaring calon kepala daerah yang bersih dari korupsi, parpol ditengarai malah membebani calon dengan biaya operasional di luar biaya resmi. Permintaan itu kerap menjebak parpol bersikap pragmatis dan cenderung memilih para calon yang bisa memenuhi syarat tersebut tanpa melihat rekam jejak calon dan asal dana itu.
Pada pilkada sebelumnya, terdapat sejumlah kepala daerah yang diproses hukum karena kasus korupsi. Mereka antara lain Gubernur Bengkulu Ridwan Mukti, Bupati Kutai Kartanegara Rita Widyasari, dan Bupati Klaten Sri Hartini. Ketiganya merupakan pemenang Pilkada 2015 di daerahnya masing-masing.
Terungkapnya kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah ini mencerminkan dominasi calon yang bisa saja bersumber pada kekuatan ekonomi, dukungan birokrasi, atau kekuatan klan (dinasti politik). Lebih dari separuh bagian responden setuju bahwa calon yang terlalu dominan bisa mengerdilkan sikap kritis masyarakat. Bahkan, parpol dan elemen-elemen lain ditengarai tak berdaya menghadapi dominasi figur calon ini. Di beberapa daerah, parpol cenderung mengalah pada tokoh yang memiliki popularitas tinggi dan finansial kuat, yang biasanya identik dengan calon petahana.
Keengganan masyarakat mengetahui rekam jejak calon juga menjadi pemicu tak terungkapnya kasus korupsi yang melibatkan calon kepala daerah. Konstituen cenderung menerima calon yang maju karena tak mau repot memikirkan rekam jejak setiap calon. Padahal, sikap kritis dibutuhkan untuk melihat calon- calon yang terindikasi dan bersinggungan dengan korupsi.
Mekanisme pencalonan kepala daerah masih kurang efektif untuk melahirkan kandidat yang bebas dari korupsi. Penekanan syarat administratif yang ditetapkan penyelenggara dan parpol belum bisa menjaring rekam jejak calon dan sumber kekayaan yang mereka peroleh. Prinsip transparansi, terutama menyangkut kekayaan para kandidat, sudah selayaknya menjadi hal yang bisa diakses terbuka oleh publik.
Sebanyak 77,1 persen responden merasa perlu diberikan kemudahan akses untuk melihat laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) calon kepala daerah di daerahnya masing-masing. Hal ini jadi sinyal penting sikap peduli masyarakat terhadap nasib daerahnya. Melalui LHKPN, masyarakat bisa berperan aktif jika menemukan dugaan kekayaan yang tak dilaporkan secara benar oleh kandidat.
Polemik
Langkah KPK yang menetapkan calon kepala daerah sebagai tersangka korupsi di tengah penyelenggaraan pilkada mendapat dukungan publik. Dua dari tiga responden mengapresiasi tindakan KPK terhadap figur-figur yang sedang mempersiapkan diri untuk jadi kepala daerah yang baru. Meski tindakan KPK itu mengundang kecurigaan adanya motif politik di baliknya, publik tetap percaya tindakan KPK itu masih berdiri di atas kepentingan hukum. Lebih dari separuh bagian responden mengungkapkan keyakinan mereka bahwa penetapan tersangka ini murni penegakan hukum.
Pemerintah tetap mengapresiasi langkah KPK di tengah kontestasi politik daerah. Namun, pemerintah juga berharap agar KPK bisa menunda pengumuman calon kepala daerah yang jadi tersangka. Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto meminta KPK menunda pengumuman calon kepala daerah menjadi tersangka agar KPK tak dituduh masuk dalam ranah politik. Hal senada dilontarkan Kepala Polri Jenderal (Pol) Tito Karnavian yang akan menunda sementara proses hukum para calon kepala daerah karena tak ingin dianggap ikut berpolitik.
Terkait polemik tersebut, publik berharap baik KPK maupun pemerintah menjaga netralitas mereka secara proporsional. Di satu sisi publik mendukung KPK, tetapi di sisi lain publik juga merasa tindakan tersebut mengganggu jalannya proses pilkada terhadap calon yang menjadi tersangka, parpol, penyelenggara, dan masyarakat pemilih.
Elektabilitas
Penetapan tersangka terhadap calon, diyakini responden, punya pengaruh pada elektabilitas. Sebanyak 74,8 persen responden menilai elektabilitas calon yang menjadi tersangka akan turun. Bahkan, responden mengaku akan berpikir ulang memilih calon kepala daerah yang menjadi tersangka. Hampir semua responden (89,9 persen) menyatakan akan memilih calon lain. Sementara yang tak akan menggunakan hak pilihnya 4,1 persen. Hanya 3,5 persen responden yang menjawab tetap memilih calon yang menjadi tersangka.
Secara umum, 52,7 persen responden mengaku penetapan calon kepala daerah menjadi tersangka membuat tahapan pilkada terganggu. Salah satu gangguan tersebut adalah kelanjutan posisi calon ketika mereka menang pilkada. Meskipun selama ini ada mekanisme menonaktifkan setelah dilantik, cara ini sudah menghambat kesempatan calon lain yang dianggap lebih bersih dan lebih kompeten menang.
Pilkada yang ideal menuntut prasyarat penyelenggara, parpol, dan calon berintegritas. Untuk menyelenggarakan pilkada berkualitas, publik mengusulkan agar regulasi pilkada harus memberikan kewenangan lebih kepada KPU untuk menegakkan prinsip pilkada berintegritas. Salah satunya kewenangan membatalkan calon yang menjadi tersangka korupsi. Mayoritas (85,5 persen) responden menyatakan, untuk penyelenggaraan pilkada berikutnya, kewenangan ini harus diberikan ke KPU.
Untuk parpol harus diberi kewajiban menyeleksi calon kepala daerah seteliti mungkin sehingga menghasilkan calon yang bersih. Untuk penyelenggaraan pilkada berikutnya, jika ada calon yang menjadi tersangka, 83,7 persen responden menyatakan parpol harus menggantinya. Adapun 84,9 persen responden menginginkan parpol memecat kadernya yang menjadi tersangka.
Untuk calon kepala daerah sendiri, kewajiban mengundurkan diri setelah menjadi tersangka adalah kewajiban mutlak. Para calon tidak perlu bersembunyi di balik regulasi yang melindungi hak-hak konstitusionalnya. Mereka harus berinisiatif mundur dan mengikuti proses hukum yang berjalan. Hampir semua responden (92,1 persen) menyatakan, untuk pilkada berikutnya, calon yang menjadi tersangka harus mengundurkan diri. Bahkan, ada 78 responden yang ingin agar calon kepala daerah yang menjadi tersangka tidak usah dilantik.
Sikap responden mencerminkan resistensi masyarakat terhadap status tersangka dari para calon yang dinilai sebagai noda pilkada. Sikap ini semoga tetap diperhatikan di balik gempita mesin politik dan langkah kandidat mendulang suara.
(Ida Ayu Grhamtika Saitya/Litbang Kompas)