MANADO, KOMPAS - Pemerintah berjanji segera menuntaskan persoalan ribuan warga keturunan Sangihe asal Filipina yang hidup terkatung-katung tanpa kewarganegaraan di Indonesia, khususnya di Kota Bitung, Sulawesi Utara. Masalah itu telah berlangsung bertahun-tahun dan menjadi isu kemanusiaan yang krusial.
Hal itu diungkapkan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly di Manado, Senin (9/4/2018). Menurut dia, masalah kemanusiaan muncul saat penyandang status tanpa kewarganegaraan (stateless) itu akan menikah dengan warga lokal di Bitung. Semua keturunan dari perkawinan bakal tidak memiliki selembar surat pun atas status kewarganegaraan mereka.
“Dianggap ilegal, anak-anak hasil perkawinan juga tidak bakal memiliki akta lahir ataupun kartu tanda penduduk. Bagaimana mereka mendapat akses dari negara, padahal anak-anak itu sudah lahir dan besar di Indonesia,” kata Yasonna.
Kepala Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Sulut Pondang Tambunan didampingi Koordinator Keimigrasian Sulut Dodi Karnida menyebutkan, sebanyak 499 warga Sangihe asal Filipina di Bitung telah didata untuk diproses menjadi warga negara Indonesia.
Pondang mengatakan, selama dua tahun mereka telah memproses 58 orang warga Sangihe keturunan Filipina di Bitung dan Sangihe untuk memperoleh kewarganegaraan Indonesia. Sebelumnya, mereka telah mendapat kartu Surat Penegasan Kewarganegaraan Indonesia (SPKI) yang dapat digunakan untuk menerbitkan KTP dan kartu keluarga.
Selanjutnya, Yasonna meminta pihak Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Sulut bergerak cepat mengurus proses kewarganegaraan tersebut karena hal ini menjadi persoalan krusial dalam bidang kemanusiaan. Menurut dia, kewarganegaraan dapat diproses lebih cepat manakala orang tersebut telah tinggal selama lima tahun di Indonesia.
Ia mengatakan, warga Sangihe asal Filipina malah telah tinggal selama belasan tahun di Bitung dan Sangihe. “Tidak ada masalah untuk mengurus mereka mendapatkan status warga negara Indonesia,” ujar Yasonna.
Dia juga mengatakan akan melakukan pertemuan dengan pihak Kedutaan Besar RI di Manila ataupun Konsulat Jenderal RI di Davao, Filipina, untuk memproses warga negara Indonesia asal Sangihe yang tinggal di Filipina.
Menurut dia, status kewarganegaraan mereka juga terkatung-katung di Filipina, terutama di kawasan Mindanao. Diperkirakan lebih dari 10.000 orang Sangir di Filipina juga berstatus stateless. Mereka hidup di Filipina bekerja sebagai buruh kasar dan nelayan.
Oleh pemerintah Filipina, warga Sangihe itu diberikan kartu khusus, yakni ACR (Alien Certificate of Registration), sebagai kejelasan status sementara. Akan tetapi, ACR bukan dokumen resmi dan harus dibayar setiap tahun, sehingga mereka jadi tidak punya pekerjaan dan penghasilan tetap.
Didukung PBB
Duta Besar RI untuk Filipina Sinyo Harry Sarundajang mengatakan, proses kewarganegaraan Indonesia di Filipina didukung oleh UNHCR, Komisi Urusan Pengungsi PBB. Data UNHCR menyebutkan, hingga tahun 2017, terdapat 8.745 orang Sangihe yang tinggal di Filipina.
Sarundajang menambahkan, persoalan kewarganegaraan orang Sangihe kerap menjadi perdebatan dan berimplikasi hukum saat mereka melaut karena dianggap melakukan illegal fishing oleh aparat. Setiap ditangkap aparat, mereka menyebut dirinya orang Sangihe.
“Kalau sudah demikian, susah diusut karena mereka juga orang Indonesia. Masalah ini harus dituntaskan dalam rangka penegakan hukum pencurian ikan,” kata Sarundajang.