JAKARTA, KOMPAS – Persoalan agama dan keimanan merupakan tidak sejalan jika disandingkan dengan politik. Oleh karena itu, politisasi agama tidak disarankan karena berpotensi merusak nilai agama itu sendiri, bahkan memunculkan beragam kelompok yang dapat memicu disintegrasi bangsa hingga pemimpin yang tidak rasional.
Hal ini disampaikan Direktur SAS Institute Imdadun Rahmat saat menjadi salah satu pembicara dalam acara peluncuran dan diskusi buku “NU Penjaga NKRI” di Gedung Pengurus Besar Nadhlatul Ulama, Jakarta, Selasa (10/4/2018). Kegiatan ini juga dihadiri Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj; Benny Susetyo; peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Amin Mudzakkir; editor buku, Iip Yahya; dan politisi muda, Tsamara Amany.
“Agama mengalami proses perubahan saat digunakan berpolitik sehingga kemudian agama menjadi suatu hal yang dipandang ekstrim, tidak moderat, tidak toleran. Akibatnya, agama menjadi rusak karena digunakan untuk kepentingan politik. Dari politisasi agama ini, muncul kelompok yang disebut khawarij. Tapi muncul juga kelompok yang sangat rasional malah merendahkan agama dan kitab suci. Bahkan pemimpin menjadi semena-mena,” tutur Imdadun.
NU sebagai salah satu organisasi agama besar di Indonesia, lanjut dia, menempatkan politik sebagai bagian dari bidang kajian hukum yang terus berkembang. Pemahaman dan pengambilan pendapat berkaitan dengan politik tetap mempertimbangkan agama tapi melalui proses ilmiah yang panjang. Dengan demikian, sikap yang ditunjukkan lebih mengedepankan kepentingan umat dan menjaga kesatuan bangsa.
Namun, satu hal yang tidak berubah adalah keyakinan NU terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan ideologi Pancasila, dan tidak pernah membenarkan khilafah.
“Tidak heran NU kerap disebut melakukan akrobat politik karena sikapnya yang lentur. Tapi di dalam mengambil pendapat itu, para ulama melakukan proses yang panjang karena politik dalam tataran agama adalah sesuatu yang sifatnya ijtihad dan menjadi ladang fiqih. Tidak seperti fenomena belakangan ini, pengambilan pendapat politik dari sebagian ulama prosesnya pendek,” ujar Imdadun.
Benny pun berpendapat senada. Dari berbagai sikap yang ditunjukkan NU selama ini dan pengalaman sejarah yang dituangkan dalam buku, organisasi agama ini menunjukkan keberimanan yang otentik tanpa mengumbar identitas dan aksesoris keagamaan. Namun lebih mengedepankan tradisi yang menyatu dalam keislaman sehingga agama menjadi hal yang penuh belas kasih.
Sementara itu, Amin menambahkan, negara dan agama menjadi suatu hal yang tidak bisa dipisahkan tapi bisa dibedakan. Karena itu, penyelesaian berbagai konflik dapat diselesaikan menggunakan pemahaman ini tanpa merasa pihak lain lebih benar dibanding pihak lawan. Dalam kehidupan berpolitik, pendekatan ini yang sudah dilakukan NU sejak lama ini perlu diresapi dan dijalani.
“Islam adalah nilai universal yang turun menjadi doktrin, lalu menumbuhkan kelompok. Berkembang menjadi organisasi, perlahan menjadi komoditi. Tapi tetap harus dipegang nilai dasarnya dengan menjaga budaya dan meyakini keberadaan NKRI. Insya Allah negara ini akan terus ada tidak akan bubar,” ujar Said Aqil. (IAN)