Penguatan DPR Hasil Kesepakatan Bersama Pemerintah
Oleh
Rini Kustiasih
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Penguatan Dewan Perwakilan Rakyat melalui sejumlah norma dan aturan di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah merupakan hasil kesepakatan bersama antara pemerintah dan DPR sebagai pembentuk UU. Kendati demikian, pemerintah membuka diri terhadap masukan dan saran dari masyarakat untuk penyempurnaan UU tersebut pada masa datang.
Pemerintah menyadari perlunya revisi UU MD3, antara lain, untuk penambahan kursi pimpinan MPR dan DPR, penguatan alat kelengkapan Dewan atau Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), serta penambahan tugas legislasi. Poin-poin tersebut menjadi materi utama dalam pembahasan UU MD3 terbaru.
Keterangan itu disampaikan perwakilan pemerintah, yakni Direktur Litigasi Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Ninik Hariwanti, Rabu (11/4/2018), di Jakarta, dalam sidang uji materi UU MD3 di Mahkamah Konstitusi. Dari pihak DPR, keterangan disampaikan oleh anggota Komisi II DPR, Arteria Dahlan.
Dalam sidang yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Aswanto, kemarin, pemerintah dan DPR diberi kesempatan untuk memberikan keterangan atas permohonan uji materi yang dilakukan oleh empat pihak dalam perkara yang berbeda.
Pernyataan resmi pemerintah ini mengakhiri polemik yang berkembang beberapa waktu terakhir yang menyebutkan pemerintah tidak menyetujui norma-norma di dalam UU MD3. Sebelumnya, Presiden Joko Widodo tidak bersedia menandatangani draf UU MD3 yang telah disetujui dalam Rapat Paripurna DPR. Namun, Pasal 20 Ayat (5) UUD 1945 menegaskan, UU yang telah disetujui bersama dengan DPR dan tidak ditandatangani Presiden dalam waktu 30 hari secara otomatis berlaku sebagai UU.
Para pemohon mempersoalkan sejumlah pasal, di antaranya Pasal 73 Ayat (1) tentang pemanggilan paksa dan sandera, Pasal 122 Huruf l tentang penghinaan dan perendahan martabat anggota DPR, serta Pasal 245 Ayat (1) tentang hak imunitas anggota DPR. Para pemohon menilai pasal-pasal tersebut tidak demokratis lantaran berpotensi mengkriminalisasi rakyat.
”Pembahasan mengenai UU MD3 tersebut diharapkan bisa memperkuat hubungan antara legislatif dan eksekutif,” kata Ninik.
Pembahasan mengenai UU MD3 tersebut diharapkan bisa memperkuat hubungan antara legislatif dan eksekutif
Sementara itu, Arteria Dahlan menyebutkan, para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum atau legal standing karena mereka tidak mengalami kerugian konstitusional dengan berlakunya UU tersebut. Pemohon dinilai sekadar khawatir dan menduga-duga dampak buruk dari berlakunya UU tersebut.