Yang Muda yang Memberi Makna
Abi Ramadan dengan piawai meracik kopi untuk tamunya yang berkunjung ke Kedai Kopi Sahabat. Suasana Kedai kopi yang ada di salah satu sudut Pasar Klandasan, Balikpapan, itu tidak jauh berbeda dengan kedai-kedai kopi kontemporer yang marak berdiri di kota-kota besar di Indonesia. Berkat hiasan yang ekletik, retro, dan warna-warna sepia, suasana rumahan tercipta di kedai kopi tersebut.
Hal yang mungkin berbeda dari kedai kopi lainnya, di dinding Kedai Kopsa—demikian Abi menyingkat nama Kopi Sahabat—tampak sejumlah lukisan. Sebagian besar buatan Abi.
Lukisan itu gambaran ambisi Abi yang juga ingin menjadikan Kedai Kopsa yang berukuran sekitar 5 x 3 meter itu sebagai galeri karya-karyanya. Namun, galeri itu hanya sebagian kecil dari ambisi Abi. ”Di Kopsa, saya bisa mendapat massa, uang, dan dokumentasi,” katanya.
Rupanya Kopsa hanya sebagian kecil dari strategi Abi untuk mewujudkan mimpinya, menjadikan Balikpapan sebagai kota kreatif.
Tentu butuh perjuangan untuk mewujudkan cita-cita itu. Di Balikpapan tidak punya pendidikan tinggi seni. Meski demikian, Abi berani bervisi bahwa industri kreatif di Balikpapan dan Kalimantan Timur pada umumnya bisa berkembang dan menjadi kekuatan ekonomi. ”Saya sempat ke Bandung untuk mempelajari model bisnis komunitas kreatif di sana,” ujarnya.
Selain jadi etalase karya-karya seniman Balikpapan, Kedai Kopsa juga menjadi tempat membuka jaringan dan bertukar pikiran. Kopi jadi media pertemuan dan pergerakan. Ketika ada pertemuan internasional tentang hutan di Balikpapan, mereka sempat melakukan aksi di depan hotel tempat pertemuan digelar. ”Saya lukis Bekantan yang hilang habitatnya, ada juga yang body painting. Buat kami, acara itu lelucon. Balikpapan saja tidak diberesin,” ujar Abi.
Abi terkadang bekerja sama dengan instansi pemerintah walau ia terus mengukur imbal balik yang terjadi di antara berbagai pihak. Ia kerap kecewa karena para elite menjadikan seni sebagai proyek mengambil laba.
Komunitas Abi juga mendapat sambutan dari pihak swasta. Mulai dari hotel, mal, sampai komunitas mobil memberikan ruang bagi mereka untuk pameran sekaligus menjual karya. ”Dengan mereka, imbal baliknya lebih enak. Mereka butuh aktivitas, kami butuh pameran,” ujarnya.
Selain Abi dengan Kedai Kopsa, di Balikpapan juga ada Andin Destian, yang sejak 2008 mendirikan rumah budaya Serumpun Lima untuk menyebarkan seni tradisional. Menurut Andin, anak-anak muda memang tidak terlalu antusias dengan seni tradisional. Namun, ia tetap gigih menyebarkan seni daerah kepada anak-anak muda karena ini harta yang berharga.
Kontribusi
Abi dan Andin hanya dua dari sekian banyak anak muda di Balikpapan, yang tersohor sebagai Kota Minyak sejak sebelum Indonesia merdeka. Rumah-rumah kompleks Pertamina di Gunung Dubbs menjadi saksi zaman keemasan minyak. Sayangnya, kucuran dari emas hitam itu tidak kembali membangun anak-anak muda Balikpapan. ”Di sini tidak ada kampus yang bagus,” kata Muhammad Iqbal dari Cita Rasa Kebajikan Pelajar (Cakep) Balikpapan.
Dari enam anggota Cakep Balikpapan yang duduk bersama di sebuah sore, Februari lalu, hanya satu yang selepas SMA melanjutkan sekolah di sebuah akademi di Balikpapan. Anggota lainnya merantau ke Yogyakarta atau Jakarta untuk meraih gelar sarjana. Selesai kuliah, masalah lapangan kerja menghadang mereka karena perusahaan asing yang beroperasi di Balikpapan umumnya mengambil karyawan dari Jakarta. ”Anak-anak di sini hanya bisa bekerja di subkontraktornya,” kata Iqbal.
Di tengah segala keterbatasan itu, Cakep Balikpapan terus berupaya menjadi, istilah mereka, provokator kebaikan. Kegiatan mereka banyak berkisar pada anak muda dan pelajar. Mulai dari pameran pelajar, lokakarya videografi, hingga acara-acara cinta lingkungan mereka gagas dan adakan untuk anak-anak muda lainnya. Bergabung dengan Cakep Balikpapan yang merupakan bagian dari Cakep Indonesia tidaklah mudah. Ada tahap wawancara untuk menyeleksi. ”Dari 85 yang mendaftar, diterimanya 50 orang,” kata Nur Hikmah, salah satu anggota Cakep Balikpapan.
Kontribusi anak muda di Cakep Balikpapan dilakukan sesuai dengan ketertarikan anggotanya. Adnan Riva’i, misalnya, bercerita tentang Jelajah Balikpapan, program tur untuk orang-orang Balikpapan. Secara berkala, mereka menggelar tur mulai dari pukul 07.00 hingga 17.00 ke tiga tempat wisata di Balikpapan. Selain dapat bantuan dana dari dinas pariwisata, tiap peserta dipungut Rp 50.000. ”Biar orang Balikpapan tahu dan tertarik wisata di kotanya sendiri,” ujarnya.
Jelajah Balikpapan dimulai oleh para Duta Wisata Balikpapan pada 2014. Awalnya, target kegiatan ini adalah anak sekolah. Lama kelamaan, banyak juga anak muda dengan usia 17-25 tahun yang berminat. Apalagi, sebagian orang Balikpapan adalah pendatang hingga banyak yang ingin lebih mengenal kota itu. ”Sekali acara, peserta bisa 75-100 orang,” ucap Adnan.
Berkat jaringan, Adnan dan teman-temannya dapat mengadakan kegiatan untuk mempromosikan kotanya. Berkat jaringan juga, Cakep Balikpapan bisa bekerja sama dengan KPU Daerah Balikpapan untuk sosialisasi pemilih muda.
Akhirnya, dengan caranya, anak-anak muda ini membentuk jaringannya. Beberapa tahun belakangan ini komunitas dan aktivitas mereka mulai memberikan warna pada kotanya.
Strategi yang mereka ambil sering kali berbeda dari generasi sebelumnya. Ketika minyak tumpah di Teluk Balikpapan, serentak 28 komunitas berkumpul pada 8 April lalu. Lewat Instagram, mereka mengingatkan untuk membawa gayung, spons, ember, sarung tangan, dan sabun. Dengan tangan, mereka membersihkan Pantai Kilang, Balikpapan. Mereka melakukannya karena sadar pantai itu milik warga Balikpapan. Api kepedulian yang membebaskan ini semoga terus menyala dan bertambah besar.