JAKARTA, KOMPAS — Masyarakat sipil dan penyelenggara pemilu berkukuh tetap mempertahankan pemilihan kepala daerah langsung karena terbukti memberi dampak positif bagi kemajuan demokrasi di Indonesia. Wacana pemilihan kepala daerah kembali lewat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah seperti yang dilontarkan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Bambang Soesatyo dinilai tidak lagi relevan.
Bayu Dwi Anggono, Direktur Pusat Kajian Pancasila Universitas Negeri Jember, Jawa Timur, menyatakan, siapa pun yang mengusulkan dan mendukung kembali pilkada dilakukan oleh DPRD harus membuka risalah persidangan amendemen Undang-Undang Dasar 1945. Dia mengatakan, pemilihan tidak langsung hanya berlaku untuk daerah berstatus istimewa, dalam hal ini DI Yogyakarta. Sementara untuk daerah otonom lainnya, pemilihan kepala daerah tetap digelar secara langsung.
Bayu mengatakan, pemilihan kepala daerah (pilkada) tidak langsung justru mempermudah melanggengkan politik dinasti dan menihilkan kemungkinan munculnya calon-calon kepala daerah yang berkualitas, baik secara pribadi maupun program kerjanya. Hal demikian akan mengurangi peluang rakyat memperoleh kepala daerah berkualitas dan menikmati pembangunan yang sesuai harapan rakyat.
Ketua Komisi Pemilihan Umum Arief Budiman mengatakan, alasan banyak pihak yang menyatakan bahwa pilkada langsung menghabiskan biaya tinggi adalah tidak tepat. Menurut dia, sudah banyak komponen dalam tahapan pilkada yang pembiayaannya ditanggung oleh negara, seperti alat peraga kampanye.
Makin membaiknya tingkat kesadaran pemilih untuk memilih calon-calon yang berkualitas dari segi program juga dinilai Arief membuktikan bahwa penyelenggaraan pilkada langsung cukup mampu menekan politik uang. Meski tidak hilang 100 persen, kata Arief, pilkada langsung membuat calon kepala daerah ragu menggunakan politik uang untuk meraup suara pemilih.
Jalan pintas
Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari mengatakan, kekhawatiran partai politik terhadap pilkada langsung adalah karena partai politik tidak memiliki kader yang populer.
Partai politik yang tidak memiliki kader yang populer di kalangan masyarakat akan kesulitan untuk berkontestasi dalam pilkada langsung. Hal ini mendorong partai politik melontarkan wacana pilkada melalui DPRD sebagai jalan pintas untuk berkuasa.