JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemilihan Umum berharap pembahasan sejumlah peraturan KPU terkait Pemilu 2019 dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah bisa diselesaikan dalam waktu singkat seusai masa reses DPR. Berlarut-larutnya pembahasan peraturan KPU bisa merugikan partai politik, calon anggota legislatif, ataupun calon pemilih.
Tiga draf peraturan KPU yang belum selesai dibahas ialah PKPU Dana Kampanye, PKPU Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden, serta PKPU Pencalonan Anggota Legislatif. Draf PKPU tentang Kampanye Pemilu sudah dianggap selesai dibahas, tetapi KPU belum mengirimkannya ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk disahkan karena masih ada beberapa pengaturan yang bersinggungan dengan PKPU yang belum rampung dibahas.
Sedianya, rapat dengar pendapat antara KPU, DPR, dan pemerintah berlangsung pada Kamis (26/4/2018), tetapi akhirnya dibatalkan.
Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar Zainudin Amali mengatakan, penundaan rapat konsultasi penyusunan PKPU hanya masalah teknis. Komisi II dengan KPU dan pemerintah awalnya sudah menjadwalkan rapat itu untuk diadakan pada Senin (23/4/2018), tetapi KPU berhalangan hadir sehingga disepakati rapat pada Kamis kemarin.
Namun, rapat pimpinan DPR dan konsultasi Badan Musyawarah DPR menyepakati, akhir masa sidang keempat DPR dipercepat dari awalnya Jumat (27/4/2018) menjadi Kamis. Oleh karena itu, kemarin, masa sidang keempat DPR sudah berakhir sehingga rapat dengar pendapat dengan KPU tidak bisa dilanjutkan.
”Sudah dijadwalkan, sudah oke semua, ternyata masa sidang ditutup hari ini. Gelagapan juga kami,” kata Amali.
Meskipun rapat Komisi II dengan KPU batal dengan alasan masa sidang yang sudah berakhir, komisi lain di DPR ternyata tetap menjalankan rapat. Komisi IX, misalnya, tetap mengadakan rapat kerja dengan Menteri Tenaga Kerja untuk membahas Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 tentang Tenaga Kerja Asing.
Amali mengatakan, pengunduran jadwal pembahasan PKPU dengan KPU tidak akan memengaruhi kualitas penyusunan PKPU. Ia yakin masih ada banyak waktu untuk menyusun PKPU dan ruang untuk evaluasi dan koreksi jika ke depan PKPU digugat. Proses pembahasan konsultasi PKPU di Komisi II pun diyakini tidak akan berkepanjangan.
”Silakan saja KPU. Yang penting, posisi kami sebagai pembuat UU tidak mungkin menabrak UU yang dibuat sendiri. Kalau KPU mau, ya silakan saja, dan saya yakini KPU sangat profesional sebenarnya,” kata Amali.
Persiapan
Ketua KPU Arief Budiman di Jakarta menuturkan, idealnya, semua draf PKPU itu sudah disahkan saat ini. Sebab, walaupun pendaftaran calon anggota legislatif baru dimulai Juli, banyak pihak harus menyiapkan diri untuk pencalonan sehingga harus paham betul aturan-aturan yang ada.
”Ada syarat-syarat yang mereka harus tahu sejak awal untuk menyiapkan data yang diperlukan,” katanya.
Kendati begitu, KPU meyakini, pembahasan terhadap tiga draf PKPU yang masih tersisa bisa dirampungkan dalam waktu hanya 1-2 hari. Ini karena sudah ada kesepahaman antara KPU dan pimpinan Komisi II DPR atas isu-isu krusial dalam draf PKPU yang belum dibahas. Sebagian di antaranya terkait dengan pelarangan bekas narapidana korupsi untuk menjadi calon anggota legislatif serta kewajiban menyerahkan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) bagi calon anggota legislatif.
”Jadi, kami harapkan kalau rapat konsultasi tertunda sampai setelah 17 Mei, mungkin sehari atau dua hari bisa selesai karena poin krusial sudah disepakati. Seperti narapidana korupsi, LHKPN, dan pengajuan calon jika pengurus di provinsi dan kabupaten serta kota berhalangan,” kata anggota KPU, Pramono Ubaid Tanthowi.
Menurut Pramono, disepakati pelarangan narapidana korupsi tetap akan masuk dalam syarat pencalonan. Sementara itu, LHKPN tetap menjadi syarat, tetapi waktu penyerahan LHKPN diperpanjang menjadi paling lambat saat penentuan calon terpilih anggota legislatif.
Terkait larangan bekas narapidana korupsi mencalonkan diri dalam pemilu legislatif, Amali berharap KPU tetap dapat berpatokan sesuai undang-undang dalam menyusun PKPU pencalonan.
”PKPU yang berkualitas itu, ya, kalau tidak bertentangan dengan UU. Kami sebagai pembuat UU hanya mau menjaga posisi KPU sebagai penyelenggara. Tidak ada dari kami yang setuju korupsi. Namun, ketidaksetujuan itu, kan, tidak bisa kita pakai sebagai alasan menabrak UU,” katanya.
Berulang
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil menuturkan, berlarut-larutnya proses konsultasi dalam penyusunan PKPU sudah menjadi persoalan yang berulang. Proses konsultasi justru menjadi penghambat penyusunan regulasi teknis kepemiluan.
Berlarut-larutnya proses konsultasi dalam penyusunan PKPU sudah menjadi persoalan yang berulang. Proses konsultasi justru menjadi penghambat penyusunan regulasi teknis kepemiluan
Seyogianya, katanya, DPR dan pemerintah yang mewajibkan adanya konsultasi juga harus siap dengan konsekuensi menyediakan waktu yang tepat sehingga regulasi teknis kepemiluan bisa selesai dengan cepat.
”Dengan fenomena ini, komitmen pemerintah dan DPR untuk menyelesaikan regulasi pemilu dalam waktu cepat menjadi diragukan,” kata Fadli.