Pempek yang Merajut Kebersamaan
Bagi masyarakat Palembang, pempek bukan sekadar kuliner, melainkan juga simbol akulturasi budaya. Pempek merupakan perpaduan hasil bumi Sumatera Selatan dengan kreativitas olahan para pendatang, terutama Tionghoa.
Gunawan (24) bersama kedua temannya tengah menunggu pesanan pempek di warung terapung yang ada di Sungai Musi, pertengahan April lalu. Warung terapung yang setiap malam menjual berbagai penganan khas Sumatera Selatan, seperti pempek, lenggang, dan model ikan tersebut, tepat berada di hadapan Benteng Kuto Besak.
Menurut Gunawan, menyantap pempek menjadi bagian dari wujud kecintaannya pada budaya orang Palembang. ”Pempek adalah identitas wong kito (orang Palembang). Dengan menyantap pempek, kita menunjukkan kebanggaan pada budaya sendiri,” katanya.
Keinginan untuk melestarikan budaya Palembang juga menjadi salah satu alasan Taufik mengelola restoran pempek Saga Sudi Mampir. Restoran yang berada di Jalan Merdeka, Kota Palembang, itu dibuka pertama kali oleh kakeknya pada 1950-an.
Ketika disinggung bahwa orang Melayu Palembang cenderung menjadi minoritas dalam menjalankan usaha pempek, Taufik menjawab, ”Pempek milik semua orang Palembang. Melayu, Tionghoa, Arab, dan suku lainnya yang ada di Sumatera Selatan perlu melestarikan pempek.”
Sebagian orang Palembang yang hidup di luar Sumatera Selatan juga sulit melepaskan diri dari pempek. Tjoa Tiong Gie alias Mulyadi, generasi ke-14 dari Kapitan Tionghoa di Palembang pada masa Hindia Belanda, yakni Tjoa Ham Lien, mencoba menjaga identitasnya sebagai orang Palembang dengan membuka toko Pempek di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara.
Pempek bagi orang Palembang, lanjut Mulyadi, lebih dari sekadar makanan. Perpaduan olahan tepung dengan ikan tenggiri atau gabus dan kehadiran cuko (cuka) dalam makanan pempek menjadi wujud perpaduan berbagai suku dan etnis di Palembang.
Akulturasi
JI van Sevenhoven dalam buku Lukisan tentang Ibu Kota Palembang (1971) mencatat, kehidupan multietnis telah menjadi potret kota di sisi Sungai Musi itu pada dekade 1820-an. Kala itu, Van Sevenhoven, yang menjadi Komisaris Pemerintah Batavia di Palembang, telah menyaksikan keberagaman masyarakat Palembang, mulai dari etnis Melayu, Jawa, Arab, dan Tionghoa.
Masyarakat Tionghoa, ujar Van Sevenhoven, mayoritas bertempat tinggal di atas rakit yang berada di Sungai Musi. Sementara orang Arab hidup bersama masyarakat Palembang lainnya dengan membangun rumah di sisi hilir dan hulu sungai. ”Semua mendapat perlakuan yang sama,” tulisnya.
Lenturnya pergaulan antaretnis di Palembang berpengaruh pada produk sosial-budaya daerah itu, termasuk pempek. Budayawan Palembang, Yudhy Syarofie, menuturkan, pempek adalah hasil kolaborasi antara kekayaan sumber daya alam masyarakat Palembang, seperti sagu, aren, dan ikan, dengan hasil akulturasi bahan makanan dari etnis Jawa dan Tionghoa, seperti tamarinda atau asam jawa dan bawang putih.
Yudhy menjelaskan, dalam Prasasti Talang Tuwo peninggalan Kerajaan Sriwijaya (abad VII-XIII), yang ditulis pada abad VII, tercantum bahwa pohon rumbia rumbia (Metroxylon sagu) telah menjadi bahan makanan pokok masyarakat di sekitar Sungai Musi. Dalam buku The History of Sumatra (Oxford University Press, 1996), William Marsden juga menyatakan, sejak akhir abad XVIII, tepung sagu yang berasal dari pohon rumbia menjadi bahan makanan pokok di wilayah Sumatera, bahkan telah diperjualbelikan.
Pempek adalah hasil kolaborasi antara kekayaan sumber daya alam masyarakat Palembang dengan hasil akulturasi bahan makanan dari etnis Jawa dan Tionghoa.
Di sisi lain, Van Sevenhoven mencatat, ikan air tawar sangat berlimpah di Sungai Musi, terutama belida (Chitala lopis) dan gabus. Pada awalnya, kata Yudhy, pempek dihasilkan dari perpaduan antara sagu dan ikan sungai. Orang Palembang membuat pempek karena terinspirasi oleh makanan asal Tionghoa, seperti bakso. Pempek dipercaya telah dibuat sejak akhir masa Kerajaan Sriwijaya. Saat itu, pempek disebut kelesan karena mampu di-keles atau diawetkan sehingga dapat tahan lama.
Untuk cuko atau cuka yang menjadi kekhasan dalam setiap hidangan pempek, Yudhy mengatakan juga hasil kolaborasi berbagai bahan makanan. Pertama, gula kabung atau aren yang tanamannya ada di sisi sungai Musi menjadi bahan baku utama pembuatan cuko.
Sebagai bahan pelengkap, masyarakat Palembang menambahkan bawang putih yang dulu digunakan etnis Tionghoa, lalu hadir pula pengaruh Jawa dalam penggunaan tamarinda atau asam jawa yang sebelumnya tidak pernah digunakan masyarakat Palembang sebagai bahan masakan.
”Karena itu, pempek menandakan keterbukaan masyarakat Palembang terhadap akulturasi budaya bangsa lain,” ujar Yudhy.
Kemas Andi Syarifuddin, pemerhati sejarah Palembang, mengatakan, pempek telah menjadi makanan adat di Kesultanan Palembang Darussalam (1659-1823). Kemudian, pada awal abad XX, pempek yang ketika itu dikenal dengan sebutan kelesan mulai dijajakan oleh orang Tionghoa.
Karena itu, pempek menandakan keterbukaan masyarakat Palembang terhadap akulturasi budaya bangsa lain.
Perubahan dari kelesan menjadi pempek, ucap Andi, terjadi karena pedagang kelesan merupakan orang Tionghoa tua yang dipanggil apek. Sebutan itu, yang kemudian menjadi ”pempek”, justru lebih populer dibandingkan kelesan.
Kini, menurut Sumarni Bayu Anita, dalam bukunya, Pempek Palembang (2014), terdapat 20 varian pempek. Selain itu, ada pula enam makanan turunan dari pempek, yakni rujak mi, model ikan, laksan, tekwan, celimpungan, serta kerupuk kemplang.
Andi menuturkan, falsafah yang telah ditunjukkan melalui sejarah kehadiran pempek patut menjadi nilai-nilai yang lestari dalam kehidupan sosial-budaya dan politik masyarakat Sumatera Selatan. ”Semua pihak, termasuk para pemimpin, harus menjaga harmoni dan toleransi di tanah Sumatera Selatan yang masyarakatnya beragam,” ujarnya.
Jadi, santaplah sepiring pempek sembari meresapi makna kebersamaan di dalamnya….