Setelah hampir satu jam terbang dari Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, para penumpang pesawat Boeing 737-400 VIP TNI Angkatan Udara tujuan Natuna, Kepulauan Riau, dikejutkan oleh kemunculan empat pesawat tempur F-16 TNI AU, masing-masing dua di sisi kiri dan kanan pesawat yang mereka tumpangi.
”Yang terhormat Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto beserta Ibu, Ketua DPR dan Ketua DPD.” Demikian pilot pesawat tempur F-16 mengawali sapaannya kepada penumpang Boeing 737-400 yang sebagian masih tidak tahu dengan apa yang terjadi.
Pilot itu lalu menjelaskan, pesawat VIP TNI AU pada Senin (23/4/2018) pagi itu ada di wilayah kedaulatan negara Republik Indonesia (RI). Namun, F-16 akan mengawal sampai Natuna karena penerbangan itu masuk dalam flight information region (FIR) atau ruang udara yang dikendalikan Singapura.
Penjelasan ini direspons dengan gembira oleh para penumpang. Pasalnya, hampir tidak pernah ada peristiwa di mana pesawat yang tumpangi Panglima TNI dikawal oleh empat pesawat tempur. Apalagi, hal itu terjadi dalam keadaan damai dan saat kunjungan kerja rutin.
F-16 yang terbang di dekat sayap kiri dan kanan itu akhirnya menjadi obyek foto. Tak kurang dari Ketua DPR Bambang Soesatyo dan Ketua DPD Oesman Sapta Odang juga ikut berfoto.
Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto mengatakan, empat F-16 dari Pangkalan Udara Roesmin Nurjadin di Pekanbaru, Riau, itu sedang latihan di Natuna. Mereka kebetulan bertemu di udara dengan pesawat VIP TNI AU.
Asisten Operasi Kepala Staf TNI AU Marsekal Muda Barhim mengatakan, pesawat VIP yang mengangkut Panglima TNI seharusnya tidak perlu dikawal. ”Ini masih di wilayah kita, jadi tidak usah dikawal,” kata Barhim.
Dalam konteks ini, ucapan pilot F-16 kepada penumpang pesawat VIP TNI AU bisa disebut ”nakal”. Pasalnya, ia mengatakan, pesawat Panglima TNI perlu dikawal karena, meski ada di wilayah kedaulatan RI, wilayah udaranya diatur oleh Singapura.
Minta izin
Sejak 1946, wilayah udara Indonesia di sekitar Riau dan Kepulauan Riau dikendalikan oleh Singapura. Bukan rahasia lagi, hal itu kerap menimbulkan kegeraman pilot-pilot TNI AU di wilayah itu. Pasalnya, mereka harus minta izin ke Singapura jika mau menerbangkan pesawatnya untuk latihan atau tugas lain.
Dalam salah satu bukunya, mantan KSAU Marsekal Chappy Hakim bercerita, kekesalan itu muncul dalam dirinya sejak ia berpangkat letnan dua tahun 1970-an. Ini karena ketika hendak menyalakan mesin pesawat Hercules di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, dia dan pilot-pilot TNI AU harus minta izin ke Singapura.
Pada HUT-nya ke-70 pada Desember 2017, Chappy menyatakan tak ingin lagi berkomentar soal FIR. Alasannya, Presiden Joko Widodo sudah mengeluarkan instruksi presiden mengenai pengambilalihan FIR dari Singapura. ”Jadi, silakan tanya kepada pemerintah, sudah keluar instruksi, kenapa tidak jalan?” katanya (Kompas, 18/12/2018).
Pengambilalihan FIR adalah amanat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Presiden Jokowi juga sudah menyatakan niatnya mengambil alih FIR di atas Riau dan Kepulauan Riau saat bertemu Wakil Perdana Menteri merangkap Menteri Koordinator Keamanan Nasional Republik Singapura Teo Chee Hean di Istana Merdeka, November 2015.
Kendala utama pengambilalihan FIR ada di dalam negeri. Pertama, belum ada kesamaan persepsi tentang FIR. Kementerian Perhubungan dan Kementerian Luar Negeri cenderung hanya melihat FIR sebagai masalah teknis operasional untuk keselamatan dan efisiensi penerbangan. Direktur Hukum dan Perjanjian Ekonomi Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri Amrih Jinangkung dalam seminar tentang Perubahan Batas Flight Information Region: Apa yang Harus Disiapkan Indonesia tahun lalu menyatakan akan membahas masalah ini dengan Singapura tahun 2024 (Kompas, 14/6/ 2017).
Ada dua alasan yang kerap dilontarkan mengapa Indonesia tak kunjung segera mengambil alih FIR. Pertama, Indonesia belum punya kemampuan teknis untuk mengatur wilayah udara. Namun, hasil audit ICAO (International Civil Aviation Organization) pada 2017 menyatakan, skor Indonesia untuk air navigation service tahun 2017 mencapai 86 persen, di atas rata-rata global 60,7 persen. Pencapaian pelaksanaan protokol udara keselamatan penerbangan juga telah mencapai 81,15 persen, di atas rata-rata global 64,71 persen.
Alasan kedua, FIR tidak terkait dengan kedaulatan, tetapi keselamatan udara negara. Alasan ini tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman karena banyak ancaman terhadap keselamatan negara bisa muncul lewat udara. Sementara saat kondisi damai, wilayah udara bisa jadi alat diplomasi dan mendatangkan devisa.
Akhirnya, kedaulatan sebuah negara berkonsekuensi pada kewajiban untuk menjaganya. Ibarat rumah, bagaimana kita dapat disebut pemilik rumah jika mau naik ke atapnya harus minta izin tetangga?