JAKARTA, KOMPAS - Upaya Komisi Pemberantasan Korupsi untuk mencegah korupsi secara dini, melalui upaya pengendalian gratifikasi, belum menunjukkan hasil yang optimal. Kepala daerah yang terjerat korupsi kian bertambah meski sebelumnya telah mengikuti program pengendalian gratifikasi dan suap.
Nota kesepahaman yang dibangun KPK dengan pemerintah daerah terkait hal ini, pada akhirnya hanya sekadar menjadi alat pencitraan kepala daerah atau pimpinan instansi terkait.
”KPK jangan polos saja karena akhirnya hanya dimanfaatkan untuk pencitraan,” kata Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII) Dadang Tri Sasongko, Selasa (1/5/2018).
Hingga kini, dari 794 kementerian/lembaga, sudah ada 459 instansi yang sudah memulai sosialisasi dan 162 di antaranya bahkan sudah membentuk Unit Pengendalian Gratifikasi.
Senin (30/4/2018), KPK menetapkan Bupati Mojokerto Mustofa sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap perizinan dan gratifikasi. Mojokerto menjadi salah satu pihak yang telah bekerja sama KPK dalam pengendalian gratifikasi.
Mustofa menjadi kepala daerah ke-13 yang ditangani KPK sepanjang 2018. Dengan demikian, jumlah keseluruhan kepala daerah, baik gubernur, wali kota, maupun bupati, yang ditindak KPK sejak berdiri hingga 2018 tercatat mencapai 100 orang.
Mustofa diduga menerima suap Rp 2,7 miliar dari Permit and Regulatory Division Head PT Tower Bersama Infrastructure Ockyanto dan Direktur Operasi PT Profesional Telekomunikasi Indonesia Onggo Wijaya terkait pengurusan izin prinsip pemanfaatan ruang dan izin mendirikan bangunan menara telekomunikasi di Kabupaten Mojokerto tahun 2015. Selain suap, Mustofa juga diduga menerima gratifikasi hingga Rp 4 miliar dan 13 mobil.
”Kami ingatkan kembali, penyelenggara negara atau pegawai negeri wajib patuh melapor gratifikasi paling lambat 30 hari kerja sejak diterima. Jika tidak dilaporkan, ada risiko pidana korupsi,” kata Wakil Ketua KPK Laode M Syarif.
Komitmen
Sejumlah kepala daerah lebih dulu dijerat dengan pasal gratifikasi pada 2017-2018, antara lain Bupati Nganjuk Taufiqurrahman, Gubernur Jambi Zumi Zola, Wali Kota Madiun Bambang Irianto, dan Bupati Kutai Kartanegara Rita Widyasari.
Dadang menyampaikan, satu lembaga bisa bebas gratifikasi dan korupsi jika pimpinannya memiliki komitmen yang tinggi.
”Gratifikasi ini menjadi akar korupsi. Jika pimpinan saja tidak memahami dan tidak punya komitmen, jangan harap yang di bawahnya mengikuti dan berupaya untuk bersih,” kata Dadang.
Ia berharap, kerja sama pengendalian gratifikasi yang dibangun KPK dan instansi yang diajak bekerja sama bukan sekadar seremonial. Kerja sama itu perlu diikuti dengan langkah serius yang diambil oleh pimpinan instansi/lembaga/pemerintahan daerah, misalnya dengan memperkuat pengawasan internal, seperti aparatur pengawas internal pemerintah (APIP). Hal itu dibutuhkan sebagai upaya preventif dan represif terhadap korupsi.