Komitmen Politik, Syarat Utama Suksesnya Pemberantasan Korupsi
Oleh
M Ikhsan Mahar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Kurangnya komitmen politik dinilai masih menjadi kendala dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Padahal, dukungan pemerintah, mulai dari lembaga eksekutif, legislatif, hingga yudikatif, merupakan syarat mutlak agar penanganan tindak pidana korupsi bisa berjalan efektif.
Dalam seminar bertajuk “Together Against Corruption”, Rabu (2/5/2018), di Kedutaan Besar Inggris, Jakarta, Duta Besar Inggris untuk Indonesia Moazzam Malik menuturkan, Indonesia telah berada di jalur yang tepat dalam upaya pemberantasan korupsi yang selama ini dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Akan tetapi, menurut Malik, KPK tidak bisa berjalan sendiri.
Ia menjelaskan, Inggris memiliki tiga sektor kunci yang mendukung pemberantasan korupsi di pejabat publik sekaligus menghadirkan budaya antikorupsi di masyarakat. Pertama, penegakan hukum yang kuat melalui kolaborasi dan kesepahaman antara institusi penegak hukum, seperti lembaga antikorupsi, kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Kedua, adanya lembaga audit yang secara berkala dan tanpa pandang bulu melakukan audit seluruh lembaga negara. Ketiga, kebebasan media untuk melakukan pengawasan langsung kepada lembaga negara dan pejabat publik.
Hal serupa juga disampaikan Duta Besar Denmark untuk Indonesia Rasmus Abildgaard Kristensen. Kehadiran Denmark sebagai negara yang berada di urutan teratas dalam daftar indeks persepsi korupsi, ujar Kristensen, tidak lepas dari komitmen politik yang kuat dari seluruh elemen pemerintah.
“Komitmen politik itu ditunjukkan dengan pelaksanaan asas transparansi yang dilakukan seluruh lembaga negara dan parlemen. Penegakan hukum yang keras akan diberikan kepada pelanggar,” ujar Kristensen.
Kehadiran Denmark sebagai negara yang berada di urutan teratas dalam daftar indeks persepsi korupsi tidak lepas dari komitmen politik yang kuat dari seluruh elemen pemerintah.
Selain kedua duta besar, acara itu juga menghadirkan penasehat KPK, Mohammad Tsani Annafari; Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia Dadang Trisasongko; tenaga ahli Kedeputian II Kantor Staf Presiden, Bimo Wijayanto; serta Koordinator Indonesia Corruption Watch Adnan Topan Husodo.
Pada 2017, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia berada pada skor 37 dan menempati peringkat ke-96 dari 180 negara di dunia. Skor IPK itu mengalami stagnasi dibandingkan tahun 2016.
Adnan menilai stagnasi itu disebabkan belum berjalannya reformasi hukum dan politik yang mampu menopang upaya pemberantasan korupsi. Di sektor hukum, lanjut Adnan, Kepolisian Negara RI dan Kejaksaan Agung masih tertinggal oleh KPK dalam pengungkapan tindak pidana korupsi.
Andai komitmen politik kuat, ia menambahkan, kewenangan KPK bisa saja diperluas, misalnya dengan memperkuat dasar hukum dan memperluas kewenangan KPK.
“Kalau memperkuat KPK tentu akan ada pertentangan secara politik. Sumber utama korupsi di Indonesia adalah bidang politik, tetapi politik pula yang menjadi pengganjal pemberantasan korupsi,” kata Adnan.
Sumber utama korupsi di Indonesia adalah bidang politik, tetapi politik pula yang menjadi pengganjal pemberantasan korupsi,
Tsani mengatakan, komitmen pemberantasan korupsi perlu dilakukan bersama, tidak hanya KPK. Seluruh elemen bangsa perlu melakukan tugas masing-masing, sehingga hadir budaya antikorupsi yang menyentuh hingga ke akar rumput. Selama ini, kata Tsani, masyarakat masih terkesan permisif terhadap koruptor seiring masih adanya fenomena mantan terpidana korupsi terpilih sebagai wakil rakyat atau kepala daerah.
Pembatasan tunai
Kristensen menambahkan, salah satu upaya Denmark untuk membatasi korupsi di sektor politik, yaitu dengan aturan ketat pemerintah terhadap penggunaan uang tunai, terutama dalam tahapan pemilihan umum. Hal itu, lanjutnya, terbukti dapat menekan potensi perilaku koruptif dalam kontestasi politik.
Dalam hasil kajian Bank Sentral Denmark, Desember 2017, penggunaan uang tunai dalam transaksi di Denmark hanya berjumlah 23 persen. Jumlah rata-rata transaksi tunai itu ialah 24,4 Euro (Rp 409.000).
Secara terpisah, Ketua DPR Bambang Soesatyo berpendapat, besaran transaksi tunai suatu negara berkorelasi dengan peringkat indek korupsi. Negara dengan jumlah transaksi tunai tinggi cenderung memiliki persepsi tingkat korupsi yang lebih buruk.
Atas dasar itu, Bambang menekankan, DPR mendukung hadirnya Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pembatasan Transaksi Uang Kartal. Ia berharap pemerintah segera memberikan draf RUU itu kepada Badan Legislasi DPR dan komisi terkait.
“Kita tinggal menunggu surat presiden (surpres) RUU itu dari pemerintah. Saya yakin RUU itu dapat menekan angka korupsi di Indonesia,” tuturnya.