JAKARTA, KOMPAS — Gerakan atau unggahan menggunakan tagar di media sosial mulai marak belakangan untuk mendapatkan simpati publik yang lebih luas. Meskipun hal itu merupakan bagian dari aspirasi, penegak hukum dan pengawas pemilu perlu mengantisipasi lebih awal agar tidak merusak tatanan demokrasi.
Beberapa waktu belakangan, publik diramaikan dengan bermacam tagar yang berhubungan dengan politik dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019, seperti #2019GantiPresiden, #Jokowi2Periode, dan #DiaSibukKerja. Tagar itu pun tidak hanya ramai di media sosial, tetapi juga dunia nyata.
Sekitar 300 relawan berkumpul dengan atribut #2019GantiPresiden di kawasan Monumen Nasional, Jakarta Pusat, Minggu (6/5/2018). Deklarasi tersebut dipimpin oleh Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera Mardani Ali Sera.
Mardani mengatakan, kegiatan deklarasi #2019GantiPresiden sebagai bentuk aspirasi masyarakat terhadap kinerja pemerintahan saat ini. Ia menepis apabila kegiatan itu dianggap ilegal sebab kebebasan orang berpendapat telah diatur dalam undang-undang.
”Semua diserahkan pada proses politik. Fokus gerakan ini menjadi pressure group, menjadi pendidikan politik, agar negeri ini tahu bahwa siapa yang layak bekerja ya lanjutkan, kalau tidak layak ya ganti presiden,” ujar Mardani saat ditemui seusai berorasi.
Ketua panitia penyelenggara, Haldi Zusrijan Panjaitan, memastikan tidak ada paksaan bagi siapa pun yang ingin menjadi relawan #2019GantiPresiden. Ia menekankan, gerakan tersebut ingin memberikan semangat kepada rakyat agar pemerintahan ke depan menjadi lebih baik.
”Tetapi, kami tidak pada domain menyebut nama presiden siapa. Relawan-relawan ini juga tidak ada organisasi, siapa saja yang ingin bergabung, silakan,” ucapnya.
Secara terpisah, pengamat politik dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Gun Gun Heryanto, mengatakan, fenomena gerakan tagar harus dilihat dalam konteks politik kekinian. Gerakan yang awalnya muncul melalui media sosial ini, menurut Gun Gun, telah berhasil memanfaatkan peluang pengguna internet di Indonesia yang mencapai sekitar 132 juta orang.
”Jadi, ada keterhubungan yang erat di antara mereka sehingga ada kaitan antara demokrasi di dunia nyata dan cyber democracy,” ujarnya.
Namun, dalam kontestasi elektoral, lanjutnya, fenomena tagar itu bisa menjadi sebuah taktik dan strategi untuk melakukan manajemen sebuah isu. Yang dimaksud manajemen isu adalah sebagai strategi komunikasi untuk memengaruhi lingkungan politik agar mendapatkan dukungan publik.
”Saat ini, perang tagar itu masih berada di posisi stage of brainstorming, di mana isu baru dikenalkan kepada khalayak luas atau proses orientasi,” ucap Gun Gun.
Meski demikian, ia mengatakan, hal itu tetap perlu diantisipasi agar pertarungan opini tersebut tidak semakin meluas dan merusak tatanan demokrasi. Ia menyebut ada dua tingkatan yang terjadi apabila gerakan itu terus dibiarkan. Pertama, stage of consolidation, di mana mereka akan semakin berkelompok antara kontra dan pro. Tingkatan terakhir adalah solid stage, di mana aktivitas panggung itu semakin kuat dengan adanya mobilisasi massa lebih besar untuk mendukung salah satu pihak.
Karena itu, Gun Gun berharap, ada empat pihak yang harus bertanggung jawab untuk menjaga domain itu tetap pada koridornya dan tidak meluas. Keempat pihak itu adalah kepolisian, politisi partai politik atau tim sukses partai politik, media massa, dan para penyelenggara pemilu. Ia secara spesifik meminta Badan Pengawas Pemilu mulai secara dini membentuk tim siber khusus untuk memantau pergerakan di media sosial, bukan sekadar imbauan normatif.
”Empat pihak itu harus bisa mengantisipasi itu. Perang tagar ini jangan sampai masuk tahap kedua dan ketiga. Harus ada koridor yang tidak merusak tatanan demokrasi, tidak melanggar pemilu, KUHP, HAM, dan kebebasan berpendapat,” ujarnya.