Ini Pertimbangan Majelis Hakim PTUN Jakarta Menolak Gugatan HTI
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta menjadikan keberagaman masyarakat Indonesia sebagai pertimbangan untuk memutuskan gugatan Hizbut Tahrir Indonesia atas Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Majelis menilai organisasi tersebut telah tidak sesuai dengan falsafah bangsa Indonesia sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam sidang terbuka Senin (7/5/2018), majelis hakim PTUN Jakarta menolak gugatan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) atas Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Majelis hakim menilai wewenang, proses penerbitan, serta substansi dari surat keputusan Menteri Hukum dan HAM terkait pembubaran HTI telah sesuai prosedur.
Adapun surat keputusan yang menjadi objek sengketa adalah SK Menteri Hukum dan HAM Nomor AHU-30.AH.01.08 Tahun 2017 tentang pencabutan keputusan Meneteri Hukum dan HAM Nomor AHU-0028.60.10.2014 tentang pengesahan pendirian badan hukum perkumpulan HTI. SK itu kemudian digugat ke PTUN Jakarta dan diregister dengan nomor perkara 211/G/2017/PTUN.JKT
“Menolak permohonan penundaan surat keputusan yang diajukan penggugat. Dalam eksepsi menyatakan eksepsi tergugat tidak diterima untuk seluruhnya. Dalam pokok perkara, menolak gugatan penggugat untuk seluruhnya,” ujar Ketua Majelis Tri Cahya Indra Permana saat membacakan amar putusan. Dalam memeriksa perkara tersebut, Tri Cahya dibantu dua hakim anggota Nelvy Christin dan Rony Erry Saputro.
Perihal prosedur penerbitan objek perkara, penggugat mempermasalahkan tidak adanya dialog antara tergugat (Kementerian Hukum dan HAM) dengan penggugat (HTI) sebelum pencabutan badan hukum dilakukan.
Atas keberatan itu, dalam pertimbangannya, majelis hakim menyampaikan, kasus HTI termasuk pelanggaran yang bersifat luar biasa (extraordinary). Dengan demikian, prosedur peringatan tidak diatur.
“Sebagaimana lazimnya pemberian sanki administrasi tidak juga memberi kesempatan pada penggugat untuk menyampaikan tuduhan-tuduhannya bagi pelanggaran extraordinary, tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang) Organisasi Kemasyarakatan,” ujar Hakim Rony.
Selain itu, majelis hakim juga menilai, penggugat telah menjalin komunikasi dengan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam). Hal itu terbukti dengan adanya surat nomor B 999/Polhukam/D-III/04.04.1/7/2017 tanggal 17 Juli 2017 perihal pertimbangan pencabutan status badan hukum.
“Dengan demikain secara prosedur penerbitan objek sengketa tidak mengandung cacat yurisdis dari segi prosedural penerbitannya,” ujar Hakim Rony.
Substansi perkara
Dalam pertimbangannya, majelis hakim juga menilai HTI terbukti sebagai organisasi yang menyebarkan paham sistem pemerintahan Khilafah Islamiyah di Indonesia. Hal tersebut terbukti dari video tentang muktmar khilafah di Gelora Bung Karno pada 2013. Bukti lainnya, pembacaan ikrar sekitar 1.500 mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) untuk memperjuangkan khilafah di Indonesia yang diadakan Simposium Nasional Lembaga Dakwah Kampus pada 25-27 November 2016.
Hakim menilai, sistem Khilafah Islamiyah bertentangan dengan Pancasila, khususnya sila ketiga tentang Persatuan Indonesia. Konsep sistem Khilafah Islamiyah, apabila ditinjau dari segi sejarah, sangat berbeda dengan konteks Indonesia yang merupakan gabungan dari beragam suku, agama, dan ras.
“Penggugat terbukti mendirikan Khilafah Islamiyah dalam NKRI dan melakukan aksinya bukan hanya di pikiran. Itu telah melanggar sila ketiga Persatuan Indonesia menghendaki perasaan senasib, sepenanggungan, tidak terbagi terpisahkan dari yang lain. Jika dalam pengertian modern itu disebut nasionalisme. Rasa satu itu muncul rasa cinta,” ujar Hakim Rony.
Namun demikian, hakim menilai sistem tersebut malah telah mengesmpingkan keberagaman suku, agama, dan ras di Indonesia. Hal ini ditakutkan dapat merusak tantanan keberagaman di Indonesia.
“Kalau sudah diwujudkan dalam bentuk aksi untuk mengganti Pancasila dan UUD 1945 di NKRI yang merupakan hasil kesepakatan bangsa dengan sistem Khilafah Islamiyah, maka ada aturan hukum positif yang dilanggarnya. Di samping itu, sudah dapat dipastikan akan ada reaksi-reaksi, baik dari kalangan umat-umat lainnya serta dari elemen bangsa lain, khususnya dari saudara-saudara kita yang beragama nonmuslim yang tidak setuju dengan gerakan Khilafah Islamiyah. Dan upaya menggantikan Pancasila dan UUD 1945 itu merupakan potensi perpecahan bagi NKRI,” ujar Hakim Rony.
Banding
Lebih lanjut Ronny mengatakan, pembentukkan HTI sebagai badan hukum tidak tepat. Sebab, Hizbut Tahrir di berbagai dunia merupakan organisasi politik. Seharusnya, HTI didirikan sebagai partai politik.
“Atas dasar hal tersebut maka menurut majelis hakim pendaftaran HTI sebagai perkumpulan badan hukum sejak awal telah salah,” ujar Ronny.
Terhadap putusan tersebut, penasihat hukum penggugat Gugum Ridho Putra menyayangkan beberapa bukti yang digunakan majelis hakim untuk dasar putusan, seperti halnya video. Pihaknya juga merasa dirugikan karena tidak pernah merasa diajak berdialog sebelum pembubaran HTI.
“Ini adalah putusan tingkat pertama, jelas secara general kami menolak putusan hari ini. Dan setelah ini kami akan lakukan upaya hukum. Upaya hukum jelas ada banding, kalau belum selesai ada kasasi, kalau belum lagi akan peninjauan kembali,” ujarnya.
Sementara itu, anggota kuasa hukum tergugat Achmad Budi Prayoga mempersilakan penggugat apabila ingin banding. Ia mengajak agar para eks-HTI dapat kembali bersama-sama membangun NKRI.
“Silakan itu hak hukum mereka. Yang harus ditegaskan dan untuk para simpatisan para anggota pengurus, mari kita kembali ke Pancasila menjadi warga negara yang patuh pada konstitusi Indonesia dan Pancasila,” ucap Achmad.