JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah mengedepankan hukum administrasi dalam penanganan kasus dugaan tindak pidana korupsi yang diduga melibatkan pejabat atau aparatur sipil negara di daerah. Pengembalian dana oleh para pihak yang terlibat ke kas negara pada masa proses investigasi awal aparat pengawas internal pemerintahan dan aparat penegak hukum bisa menihilkan proses hukum selanjutnya.
Namun, jika dalam proses yang sama aparat penegak hukum (APH), baik kepolisian, kejaksaan, maupun pihak lain, yang terlibat menemukan niat jahat, aparat pengawas internal pemerintahan (APIP) dan APH akan menindaklanjuti temuan tersebut ke penyidikan tindak pidana korupsi.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo dalam catatan tertulisnya di sela-sela penandatanganan nota kesepahaman Inspektorat Jenderal Kementerian Dalam Negeri dengan pemerintah daerah, kejaksaan tinggi, dan kepolisian daerah di 34 provinsi yang berlangsung di Jakarta, Senin (7/5/2018), menyebutkan, kerja sama dan penggunaan hukum administrasi itu sama sekali tidak bertujuan untuk melindungi tindakan kejahatan, melindungi koruptor, atau membatasi aparat penegak hukum dalam melakukan tugasnya.
”Namun, pendekatannya adalah mengedepankan hukum administrasi sehingga penanganan pidana merupakan ultimum remedium atau upaya terakhir dalam penanganan suatu masalah dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah,” kata Tjahjo.
Nota kesepahaman ini merupakan tindak lanjut dari perjanjian kerja sama antara Kementerian Dalam Negeri, Kejaksaan Agung, dan Kepolisian Negara RI dalam menindaklanjuti laporan masyarakat tentang dugaan adanya tindak pidana korupsi di daerah yang telah diawali pada 30 November 2017. Beberapa bulan kemudian, perjanjian kerja sama tersebut diperbarui dalam bentuk nota kesepahaman bersama antara ketiga institusi pada 28 Februari 2018.
Inspektur Jenderal Kemendagri Sri Wahyuningsih mengatakan, perjanjian kerja sama itu tidak berarti mereka melindungi para pelaku tipikor di pemerintahan. Sebaliknya, mereka melindungi masyarakat yang ingin mendapatkan hasil maksimal dari pembiayaan pembangunan yang telah dikeluarkan oleh negara.
Dalam pasal 7 ayat 5 nota kesepahaman tersebut dinyatakan, yang dimaksud dengan kesalahan administrasi adalah tidak terdapat kerugian keuangan negara atau daerah, terdapat kerugian keuangan negara atau daerah dan telah diproses melalui tuntutan ganti rugi atau tuntutan perbendaharaan paling lamat 60 hari sejak laporan hasil pemeriksaan APIP atau Badan Pemeriksa Keuangan diterima oleh pejabat atau telah ditindaklanjuti dan dinyatakan selesai oleh APIP atau BPK, merupakan bagian dari diskresi sepanjang terpenuhi tujuan dan syarat-syarat digunakannya diskresi, dan merupakan penyelenggaraan administrasi pemerintahan sepanjang sesuai dengan asas umum pemerintahan yang baik.
Sri mengakui adanya keraguan mengenai kapasitas APIP dalam melakukan penilaian adanya kerugian negara. Namun, dirinya menyatakan, perbaikan kualitas kinerja itu terus berjalan. Dalam setiap kegiatan pemeriksaan, katanya, BPK dan lembaga audit lain pun mendampingi APIP dalam pengerjaannya.
Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Ari Dono mengatakan, pengadaan barang fiktif, pemerasan, dan sebagainya adalah hal-hal yang banyak ditemui dalam kasus tindak pidana korupsi penggunaan anggaran pembangunan di daerah. Modus-modus ini harus menjadi perhatian utama dari APIP dan APH untuk memastikan pembiayaan pembangunan di daerah tidak terganggu.
”Degradasi kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggara negara dan pembangunan bisa terjadi kalau hal ini terus dilakukan. Juga bisa berdampak terhadap program yang sedang dan terus dikerjakan oleh pemerintah,” ujarnya.
Dengan adanya nota kesepahaman ini, diriya berharap APIP akan menjadi penjamin mutu pengawasan pembangunan, mulai dari perencanaan hingga pertanggungjawaban penggunaan keuangan negara.