MAKASSAR, KOMPAS — Tim media dan juru bicara empat pasangan calon gubernur-wakil gubernur Sulawesi Selatan menandatangani Kesepakatan Pilkada Tanpa SARA di Makassar, Sulsel, Selasa (8/5/2018). Kesepakatan ini turut ditandatangani sejumlah tokoh masyarakat dan akademisi.
Penandatanganan dilakukan usai diskusi publik bertema ”Pilkada Tanpa SARA”. SARA adalah singkatan dari suku, agama, ras, dan antargolongan. Diskusi menghadirkan pembicara di antaranya Direktur Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri Brigadir Jenderal (Pol) M Fadil Imran, akademisi Luhur Prianto, dan budayawan Asmin Amin.
Isi piagam tersebut adalah kesepakatan menciptakan dan merawat kerukunan serta keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia tanpa menonjolkan isu SARA selama pilkada berlangsung.
”Kami sepakat pilkada tak boleh dicederai dengan apa pun yang berbau SARA. Semua ingin pilkada berlangsung damai tanpa menyisakan konflik dan disharmoni pada warga,” kata Andri Arief Bulu, juru bicara tim pemenangan pasangan Agus Arifin Nu’mang-Tanribali Lamo.
Hal senada dikatakan Nasir, ketua tim media Nurdin Halid-Aziz Qahhar Mudzakkar. Menurut dia, tak hanya tim yang harus menjaga agar potensi konflik SARA tak terjadi, tetapi juga media. Dalam soal penyebaran berita bohong yang banyak terjadi di media sosial, sebaiknya media konvensional juga ikut meredam.
Juru bicara pasangan Nurdin Abdullah-Sudirman Sulaiman, Haeruddin, mengatakan, sejak awal tim juga sudah berkomitmen untuk tidak masuk dalam hal-hal yang mengarah ke sentimen SARA. ”Kalaupun ada hitung-hitungan geopolitik untuk memetakan pemilih, itu tidak membuat kami kemudian mengotak-ngotakkan masyarakat,” katanya.
Sementara itu, Henny dari tim pasangan Ichsan Yasin Limpo-Andi Mudzakkar mengatakan, timnya justru menanamkan nilai-nilai budaya dalam jargon kampanye. ”Bagi kami, pasangan yang baik adalah yang cakap membaca nilai budaya yang ada di Sulsel dan itu berarti bukan hanya bicara satu suku atau golongan, tetapi semua,” katanya.
Brigjen (Pol) M Fadil Imran mengatakan, saat ini pihak kepolisian terus memantau aktivitas media sosial, terutama dalam penyebaran berita bohong dan isu SARA. Dalam situasi politik seperti tahun ini, berita bohong dan berbau SARA cenderung lebih mudah diembuskan.
”Beberapa kali publik dikejutkan dengan sejumlah informasi yang berisi kebencian atau mengandung unsur SARA, tetapi setelah kami telusuri, ternyata kejadian lain yang tak terkait,” kata Fadil.
Ia mencontohkan, ada peristiwa mobil tangki terbakar di salah satu negara seusai perhelatan Piala Dunia yang menimbulkan banyak korban ikut terbakar. Lalu, kejadian itu disebarkan dengan judul pembantaian warga pemeluk agama tertentu. ”Jika hal seperti ini tidak dicegah, berita bohong dengan unsur SARA akan begitu mudah masuk ke masyarakat,” katanya.
Hal ini, katanya, diperparah dengan kondisi masyarakat di Indonesia yang masih mudah percaya dengan berita seperti itu. ”Belum lagi sikap dalam menentukan pilihan kadang lebih bersifat primordial ketimbang mengedepankan logika dan realitas,” ujarnya.
Luhur Prianto mengatakan, unsur SARA memang tak bisa dipisahkan dalam politik karena dalam kehidupan masyarakat, SARA juga menjadi identitas. Namun, mengangkat isu keberagaman dan budaya dalam kampanye politik sebaiknya dilakukan dalam konteks positif, bukan memecah belah.