Demokrasi menjadi sehat jika masyarakat berpartisipasi aktif. Warga mengambil bagian dari proses demokrasi. Namun, bagaimana jika partisipasi masyarakat itu mengambil bentuk kuatnya polarisasi politik?
Masih ada waktu 11 bulan sebelum para pemilih menggunakan hak suaranya dalam Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2019, pada 17 April 2019. Pendaftaran calon presiden dan wakil presiden baru dimulai sekitar tiga bulan lagi. Namun, keriuhan saling dukung ”jago” sudah mulai berlangsung di media sosial. Kendati ada beberapa nama yang muncul, dukungan mulai terpusat pada dua sosok, yakni Presiden Joko Widodo dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto.
Beberapa waktu terakhir, gerakan di ruang dalam jaringan (daring) untuk mendukung atau menolak calon tertentu juga dilanjutkan dalam gerakan luar jaringan (luring). Perang tanda pagar atau tagar #2019gantipresiden kemudian dilawan, misalnya dengan tagar #tetapjokowi. Pendukung ataupun pihak yang kontra kemudian sama-sama ”turun” ke jalan, mengenakan kaus dengan tagar berbeda.
Dalam acara diskusi Satu Meja bertajuk ”Jelang Pilpres, Polarisasi Makin Tajam”, yang ditayangkan di Kompas TV, Senin (7/5/2018) malam, Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra Ahmad Riza Patria mengatakan, polarisasi politik sudah sekitar 10 tahun terakhir menguat, tak hanya di Indonesia, tetapi juga di negara lain. Di Indonesia, menurut dia, polarisasi politik mulai muncul dalam Pilkada DKI pada 2012. Saat itu, Partai Gerindra dan PDI-P mengusung pasangan Jokowi dan Basuki Tjahaja Purnama, menghadapi petahana yang didukung banyak parpol.
”Apa yang terjadi belakangan ini, di samping masalah, juga ada hikmah. Daripada meledak jelang pilpres, sekarang (dinamika) sudah mulai sehingga aparat bisa bersiap. Elite politik bisa menjaga konstituen masing-masing. Media juga menjaga persatuan,” kata Riza.
Diskusi yang dipandu Pemimpin Redaksi Harian Kompas Budiman Tanuredjo itu juga menghadirkan pembicara lain, yakni Wakil Sekretaris Jenderal PDI-P yang juga Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah dan Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Komaruddin Hidayat.
Menurut Riza, gerakan seperti tagar #2019gantipresiden bersifat sporadis, tidak diperintah partai. Dia berharap masyarakat yang beda pandangan politik bisa bertemu, tetapi tidak perlu berkonflik. Pilihan boleh beda, tetapi persatuan harus tetap dijaga.
Basarah mengingatkan semua elemen bangsa agar menjaga persatuan di tahun 2018, yang disebut sebagai tahun politik. Dia mengingatkan bahwa Mei ini, Indonesia memperingati 20 tahun reformasi, sedangkan 29 Oktober mendatang Indonesia memperingati 90 tahun Sumpah Pemuda. Dia berharap pilpres bisa dijadikan sebagai proses rutin demokrasi lima tahunan, tidak dibuat seakan-akan jadi perebutan hidup dan mati bagi kelompok.
”Sembilan puluh tahun lalu, pejuang bangsa menyadari politik identitas digunakan Belanda untuk politik pecah belah. Lalu muncul kesadaran nasional. Sumpah Pemuda jadi antitesis politik pecah belah,” katanya.
Komaruddin menilai, menguatnya polarisasi ini perlu dikelola dan diantisipasi. Elite partai, tokoh masyarakat, dan pemerintah perlu kerja sama. ”Kalau ada konflik, tokoh partai duduk bersama. Itu, kan, enak. Jadi adem,” katanya.
Penyebab polarisasi
Apa yang membuat polarisasi politik di masyarakat menguat? Beberapa riset mengaitkan kuatnya polarisasi politik dengan peranan medsos, semacam Twitter dan Facebook. Medsos memungkinkan pengguna internet untuk memilih dengan siapa mereka terhubung. Dengan begitu, jika pengguna internet tak suka dengan pengguna lain yang punya pandangan politik berbeda, ia tinggal menggunakan fitur unfriend atau unfollow.
Algoritma di medsos juga dituding membuat pengguna informasi lebih banyak terpapar hal- hal yang punya sepandangan dengan mereka. Tidak hanya itu, pengguna internet juga cenderung mencari informasi untuk mengonfirmasi pandangannya.
Dalam beberapa jurnal kajian media dan politik, hal ini lalu disebut memunculkan efek ”ghetto siber”, ”efek ruang gema”, atau ”kepompong informasi”. Istilah itu merujuk pada keterisolasian pengguna internet dalam ”ekosistem” orang-orang yang berpandangan sama.
Fenomena ini lalu dikhawatirkan memperkuat polarisasi masyarakat karena pengguna internet yang moderat lama-kelamaan tergerus. Namun, juga tak bisa dipungkiri, ada pula penelitian yang menunjukkan medsos memberi kesempatan bertemunya orang-orang yang berbeda pandangan. Secara teoretis, hal ini dinilai bisa memoderasi sikap seseorang.
Kendati medsos punya dampak memperkuat polarisasi, itu penting mengingat medsos merupakan alat yang digunakan oleh individu. Sebagai alat, sedikit banyak ia juga dipengaruhi oleh orang yang menggunakannya. Selain dampak medsos terhadap polarisasi politik, ada pula riset yang mencoba menggali akar persoalan polarisasi, melampaui diskursus pro dan kontra medsos.
Daryna Grechyna dalam artikel ”On the Determinants of Political Polarization” (2016), yang dipublikasikan di jurnal Economics Letters (2016), berargumen, faktor sosio-historis dan fenomena ekonomi memengaruhi polarisasi di masyarakat. Pengajar di Departemen Ekonomi, Middlesex University London, Inggris, itu meneliti faktor yang menentukan polarisasi politik dengan memakai data kuantitatif, dengan sampel 66 negara.
Ada 10 faktor determinan yang dianalisis Grechyna, yakni produk domestik bruto per kapita, kesenjangan pendapatan, globalisasi, pembelanjaan pemerintah, independensi media, fraksionalisasi etnolinguistik, kepercayaan, demokrasi, kepadatan penduduk, dan faktor geografis.
Hasilnya, Grechyna mencatat kepercayaan dan kesenjangan pendapatan menjadi dua faktor penentu paling kuat polarisasi politik. Menurut dia, rendahnya tingkat kepercayaan dan tingginya kesenjangan pendapatan berkontribusi pada makin tingginya polarisasi politik.
Nah, siapkah elite mengatasi akar persoalan polarisasi tersebut?