JAKARTA, KOMPAS - Kepatuhan para pejabat negara melaporkan gratifikasi maupun harta kekayaannya hingga kini tergolong masih rendah. Hal itu akibat sanksi yang tidak optimal terhadap pihak-pihak yang tidak patuh atas laporan tersebut.
Oleh karena itu, Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada Oce Madril di Jakarta, Selasa (8/5) meminta KPK aktif membuka data para penyelenggara negara yang tidak patuh melaporkan gratifikasi dan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).
“Kepala daerah rentan karena punya kekuasaan yang besar sehingga banyak pihak yang memberikan upeti dan sebaliknya berharap ada proyek yang bisa didapatkan. Sedangkan legislatif, sebagai pembahas anggaran rentan meminta atau menerima sesuatu dari anggaran yang dibahasnya,” kata Oce.
Menurut Oce, kesadaran antikorupsi kepala daerah dan legislatif yang masih rendah ini dipengaruhi sanksi yang tak optimal saat mereka tidak tertib melaporkan gratifikasi dan harta kekayaannya. “Padahal, pelaporan gratifikasi dan LHKPN itu wajib sesuai undang-undang," ujarnya.
Pelaporan harta kekayaan ini diwajibkan dalam Pasal 4 Ayat (1) poin k Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota.
"Mereka tahu akan kewajiban itu tetapi lalai. Mungkin karena sanksinya lemah. Ini patut diperbaiki agar ada efek jera. KPK mesti rutin merilis ke publik soal kepatuhan ini,” tutur Oce.
Direktur Gratifikasi KPK Giri Suprapdiono menambahkan, fasilitas yang dibangun KPK melalui sistem daring, dalam pelaporan gratifikasi dan LHKPN sebenarnya dapat memudahkan para pejabat untuk melaporkan atau memperbarui datanya. Giri juga mengingatkan, penerimaan dugaan gratifikasi yang tak dilaporkan dalam jangka 30 hari berpotensi dikenakan pidana. Sejauh ini, ada sejumlah kepala daerah dan anggota legislatif yang pernah ditindak karena tak melaporkan gratifikasi.
Kepatuhan makin turun
Sementara itu, berdasarkan data KPK, yang diterima Selasa ini, dari 524 kepala daerah dan anggota legislatif di Indonesia, hanya 72 kepala daerah yang pernah melaporkan gratifikasi. Dari 72 orang tersebut, sebagian besar hanya lapor sekali hingga tiga kali saja. Sedangkan, yang aktif melapor lebih dari 10 kali hanya dua orang yaitu Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi dan Bupati Pakpak Barat Remigo Yolando Berutu.
Demikian pula pelaporan gratifikasi anggota legislatif di pusat dan daerah. Dari tahun ke tahun, jumlahnya semakin merosot. Mulai dari j25 orang yang melapor pada 2015, turun lagi pada 2016 jadi 21 orang, dan pada 2017 jumlahnya tinggal 15 orang yang melapor.
Terkait LHKPN, laporan KPK menyebutkan, para anggota DPRD punya tingkat kepatuhan terendah. Misalnya, pada 2017, hanya 4.406 yang lapor dari 14.173 pejabat yang wajib lapor. Kesadaran melapor 2016 dan 2015 juga tak jauh beda. Adapun kepala daerah, selain tak memiliki kepatuhan tinggi, banyak hartanya tak dilaporkan. Dari 100 kepala daerah yang ditindak KPK, semua serahkan LHKPN tetapi jumlah hartanya tak sesuai faktanya.