JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemilihan Umum bisa mengambil risiko dengan memasukkan kembali dalam daftar pemilih tetap calon pemilih pilkada serentak 2018 yang dicoret karena belum ada kartu tanda penduduk elektronik. Namun, langkah itu tetap perlu didukung dengan penyediaan KTP-el atau surat keterangan pengganti KTP-el bagi pemilih itu.
Langkah ini bisa diambil jika proses koordinasi KPU bersama dengan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri belum tuntas kendati sudah mendekati tenggat pencetakan surat suara, 30 hari sebelum hari pemungutan suara 27 Juni 2018.
Adapun saat ini, berdasarkan data KPU, masih ada sekitar 849.000 calon pemilih yang dicoret dari daftar pemilih saat penetapan daftar pemilih tetap karena diduga belum mempunyai KTP-el atau surat keterangan pengganti KTP-el.
”KPU harus percaya diri jika memang data itu hasil kerja lapangan, bahwa mereka memang benar berhak memilih tetapi hanya karena ada persoalan KTP-el, maka masukkan saja dalam DPT. Baru kemudian (KPU) terus berkomunikasi agar mereka dapat KTP-el,” kata Koordinator Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat Sunanto, Jumat (11/5/2018), di Jakarta.
Menurut dia, pemilih bisa saja diakomodasi dalam daftar pemilih tambahan dengan membawa KTP-el atau surat keterangan pengganti KTP- el satu jam sebelum penutupan tempat pemungutan suara. Namun, akan menjadi persoalan jika terjadi pengumpulan pemilih tambahan di daerah yang sama, sedangkan cadangan surat suara dalam tiap TPS hanya 2,5 persen dari jumlah pemilih terdaftar. Karena itu, Sunanto menilai lebih memadai jika pemilih tersebut bisa masuk dalam DPT.
Hanya saja, dia mengakui, langkah ini juga rentan digugat. Sesuai pengaturan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, daftar pemilih disusun dengan berbasis KTP-el atau surat keterangan pengganti KTP-el. Sunanto menilai, dengan posisi masih ada ratusan ribu warga yang mempunyai hak pilih tetapi terganjal masalah administrasi kependudukan, KPU memasukkan mereka ataupun tidak memasukkan dalam DPT sama-sama berisiko digugat.
”Tergantung pilihan KPU mau berpihak kepada siapa. Berpihak kepada pemilih atau kepada sistem yang belum sempurna dalam penyediaan KTP-el,” katanya.
Peneliti Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif, Adeline Syahda, mengatakan, KPU harus terus berkoordinasi dengan Ditjen Dukcapil untuk menjamin tak ada pemilih yang kehilangan haknya karena tidak ada di DPT.
Anggota Badan Pengawas Pemilu, Fritz Edward Siregar, juga berharap KPU lebih aktif berkoordinasi dengan instansi terkait. Tidak hanya dengan Ditjen Dukcapil, tetapi juga dengan Ditjen Pemasyarakatan, Kementerian Hukum dan Hak Asasi manusia. Menurut dia, Bawaslu juga sudah berkali-kali mengingatkan pentingnya KPU bergerak cepat, termasuk untuk mengatasi persoalan pemilih dalam lembaga pemasyarakatan.
Menanggapi hal itu, anggota KPU, Viryan Azis, mengatakan, KPU sedang menginisiasi pembentukan forum komunikasi pemutakhiran daftar pemilih. ”Koordinasi terus berjalan,” kata Viryan.