Kejahatan Luar Biasa, Ditangani Luar Biasa
Sepekan terakhir, bangsa Indonesia berduka dan geram menyaksikan ulah petarung-petarung teror. Polisi dibunuh, warga sipil yang hendak beribadah tewas dan terluka kena ledakan bom. Anak-anak dilibatkan petarung teror dalam bom bunuh diri. Penanganan apa yang harus dilakukan untuk menghentikan teror semacam itu?
Rangkaian teror sepekan terakhir dimulai dengan kerusuhan di Rutan Cabang Salemba, Mako Brimob Kelapa Dua Depok, 8-10 Mei. Tahanan kasus terorisme menyandera enam petugas Polri. Dalam kejadian itu, satu tahanan tewas tertembak, sedangkan lima anggota Polri gugur. Hasil otopsi menunjukkan lima anggota Polri tersebut dianiaya dengan keji. Seorang anggota Polri lain akhirnya bisa dibebaskan.
Pada 10 Mei, seorang anggota Polri tewas ditusuk saat mengamankan seorang laki-laki yang bertingkah mencurigakan di Mako Brimob. Penusuk anggota Polri itu kemudian tewas ditembak. Pada 13 Mei pagi, bom meledak di tiga lokasi di Kota Surabaya, Jawa Timur, yakni di Gereja Santa Maria Tak Bercela, Gereja Kristen Indonesia, dan Gereja Pantekosta Pusat Surabaya. Sehari kemudian bom kembali meledak di pintu masuk Markas Polrestabes Surabaya serta di Rusunawa Wonocolo.
Berdasarkan data Polda Jatim, korban tewas dalam ledakan di tiga gereja, Markas Polrestabes Surabaya, dan Rusunawa Wonocolo mencapai 28 orang. Seperti diberitakan Kompas, Selasa (15/5/2018), sebanyak 13 orang di antaranya merupakan pelaku bom bunuh diri yang dilakukan tiga keluarga, yakni Dita Oepriyanto (6 orang, termasuk anak-anak, pelaku peledakan bom tiga gereja), keluarga Anton Ferdianto (3 orang, pemilik bom Rusunawa Wonocolo), dan keluarga Tri Murtiono (4 orang, pelaku peledakan bom Polrestabes Surabaya). Kepolisian menduga, rangkaian peristiwa teror itu dilakukan oleh sel-sel ”tidur” teroris yang bangun setelah kerusuhan di Rutan di Mako Brimob Kelapa Dua.
Dalam diskusi Satu Meja bertajuk ”Bersatu Melawan Teror” di Kompas TV, yang ditayangkan pada Senin (14/5) malam, anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, mengatakan, rangkaian kejadian itu bisa dimaknai bahwa penyebaran paham radikal semakin masif di Indonesia. Selain itu, karakter teror juga berubah. Jika sebelumnya pelaku teror lebih dominan laki-laki, saat ini juga muncul pelaku perempuan. Selain itu, para pelaku juga melibatkan anak-anak.
”Karena itu, deradikalisasi harus dipertajam. Pembahasan terorisme harus dalam narasi besar kesiapsiagaan nasional. Bentuknya, kontra radikalisasi dan deradikalisasi,” kata Arsul.
Selain Arsul, diskusi yang dipandu Pemimpin Redaksi Harian Kompas Budiman Tanuredjo itu juga dihadiri tiga pembicara lain, yakni Yenny Zannuba Wahid, pendiri The Wahid Institute, mantan Kepala Badan Intelijen Negara Sutiyoso, serta Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Mabes Polri Inspektur Jenderal Setyo Wasisto.
Pola pikir teroris
Deradikalisasi, kata Arsul, perlu dilakukan kepada mereka yang sudah terpapar pandangan radikal, seperti narapidana kasus terorisme. Sementara kontra radikalisme dilakukan kepada orang- orang yang belum terpapar pandangan radikal, tetapi rentan atau mempunyai potensi terpapar radikalisme. Upaya itu harus dilakukan oleh pemerintah dengan melibatkan kelompok masyarakat sipil.
Radikalisme dan terorisme mempunyai kaitan erat kendati tak selalu linier. Randy Borum dalam ”Radicalization into Violent Extremism II: A Review of Conceptual Models and Empirical Research”, yang dipublikasikan di Journal of Strategic Security (2012), mengatakan, radikalisasi berupa pengembangan paham ekstrem untuk menjustifikasi kekerasan menjadi salah satu jalan menuju keterlibatan terorisme, tetapi bukan satu-satunya jalan.
Melalui hasil kajian empiris, Borum menyakini ada empat model konseptual tumbuhnya pola pikir teroris. Empat tahapan tersebut diawali pembingkaian kondisi yang tidak memuaskan ataupun kemarahan, sebagai ketidakadilan. Ketidakadilan itu ditimpakan atau diarahkan kepada kebijakan, orang, atau bangsa. Pihak yang dianggap bertanggung jawab atas ketidakadilan tersebut kemudian didemonisasi, yang menjadi justifikasi untuk diserang.
Menggunakan ungkapan, Borum mengilustrasikan empat tahapan itu melalui eskalasi pernyataan lebih kurang; ”ini tidak benar”, ”ini tidak adil”, ”ini salah kamu”, dan ”kamu adalah iblis”.
Di media sosial, pernyataan- pernyataan semacam ini sangat kerap ditemukan, bahkan dibagi- bagikan tanpa mempertimbangkan dampak negatifnya. Yenny Wahid mengingatkan ada banyak hal yang bisa dilakukan untuk membatasi ruang kelompok radikal di masyarakat. Salah satunya adalah dengan tidak ikut-ikutan menyebarkan narasi bernada kebencian. Menurut dia, survei menunjukkan adanya kaitan erat antara narasi kebencian dan radikalisasi.
Yenny mengatakan, sudah ada kasus teroris teradikalisasi melalui jalur dalam jaringan (daring) ataupun luar jaringan (luring). Ia mendapat akses materi kebencian di ruang maya. Oleh karena itu, ia juga mengingatkan elite partai politik agar tidak membuat retorika yang seolah-olah memberi angin kepada kelompok radikal demi mencapai kepentingan politik sesaat. Elite politik seharusnya menjadi bagian dari solusi menghadapi terorisme.
”Di negara demokrasi madani, ada peristiwa terorisme, semua oposisi dan pemerintah satu suara pada hari-hari pertama. Empati dan ekspresi simpati (terhadap korban) jelas. Setelah itu kemudian, setelah penanganan lebih lanjut, berbeda itu wajar,” kata Arsul.
RUU Antiterorisme
Pendekatan kontra terorisme dan deradikalisasi juga perlu dilakukan sejalan dengan langkah penindakan komprehensif. Tidak hanya saat peristiwa sudah terjadi, tetapi juga penindakan yang preemptive, sebelum peristiwa terjadi.
Menurut Sutiyoso, dibandingkan dengan negara-negara lain, undang-undang penanggulangan terorisme di Indonesia sangat lemah. Negara-negara yang sangat mengedepankan hak asasi manusia, seperti Amerika Serikat dan negara-negara di Eropa, sudah memberikan kewenangan jauh lebih besar kepada aparatnya untuk menghadapi terorisme. Ini karena terorisme dianggap sebagai kejahatan luar biasa, karena mengancam hak asasi orang banyak, bahkan eksistensi negara, sehingga penanganannya harus dengan cara luar biasa pula.
Oleh karena itu, dia mendorong revisi UU Antiterorisme, yang sudah dua tahun lebih belum disahkan oleh DPR, bisa segera tuntas. Sutiyoso khawatir Indonesia menjadi basis teroris internasional. Selain itu, semua pihak harus mengambil porsi masing-masing mencegah petarung teror itu merusak bangsa.
Dengan undang-undang yang baru, nanti jika mereka pulang dari luar negeri dan mereka di sana menjadi kombatan, dan bisa dibuktikan, maka mereka bisa kena. Polisi bisa menindak mereka
Pengesahan RUU Antiterorisme, menurut Setyo, akan sangat membantu Polri dalam bertindak preemptive. Menurut dia, dalam RUU Antiterorimse, Polri bisa menindak orang-orang yang masih dalam tahap merencanakan atau terindikasi kuat terlibat terorisme. Misalnya, saat ini ada sekitar 500 orang yang pulang dari Suriah. Polri tidak bisa melakukan apa-apa selain mengawasi mereka.
”Dengan undang-undang yang baru, nanti jika mereka pulang dari luar negeri dan mereka di sana menjadi kombatan, dan bisa dibuktikan, maka mereka bisa kena. Polisi bisa menindak mereka,” kata Setyo.
Kebutuhan menghadapi terorisme sudah dipetakan. Kini tinggal menunggu komitmen semua pihak untuk mewujudkan penanganan luar biasa.