JAKARTA, KOMPAS – Partai Gerindra terus mengkaji figur-figur yang bisa mendampingi Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto di Pemilu Presiden 2019. Dari belasan nama yang semula dikaji, kini jumlahnya telah mengerucut menjadi tak lebih dari lima nama.
Namun, Sekretaris Jenderal Gerindra Ahmad Muzani, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (16/5), masih merahasiakan figur-figur itu. “Pokoknya orang-orang hebat,” katanya.
Di antaranya menurutnya, sudah termasuk elit dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Amanat Nasional (PAN) yang disodorkan kedua partai untuk menjadi cawapres dari Prabowo.
Menurutnya, figur yang kelak dipilih menjadi cawapres dari Prabowo adalah figur yang bisa diterima oleh seluruh partai politik yang akan berkoalisi mengusung Prabowo di 2019.
Oleh karena itu, Gerindra terus mengkomunikasikannya dengan partai-partai calon koalisi. Terlebih dari partai-partai yang bersedia ikut mendukung Prabowo mengajukan syarat agar elit di partainya menjadi cawapres dari Prabowo. Syarat diajukan karena partai yakin jika ada kadernya menjadi capres atau cawapres bisa ikut mendongkrak elektabilitas partai di Pemilu Legislatif 2019.
“Jadi kita memikirkan dan mempertimbangkan kebutuhan partai calon koalisi itu sekaligus kami pertimbangkan hal lain, yaitu figur yang menjadi cawapres Prabowo harus bisa berkontribusi pada kemenangan di Pemilu Presiden 2019,” katanya.
Komunikasi dengan partai lain juga intens dilakukan karena Gerindra tak mungkin sendiri mengusung capres dan cawapres di 2019. Gerindra harus berkoalisi dengan partai lain untuk bisa memenuhi syarat ambang batas pencalonan presiden/wakil presiden yang diatur di Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Ditanyakan kapan figur yang menjadi cawapres dari Prabowo akan diumumkan, Muzani enggan memberikan kepastian. “Kami terus menggodoknya, tidak perlu terburu-buru,” ujarnya.
Sementara Prabowo saat mendatangi Kompleks Parlemen, menjanjikan figur terbaik yang akan dipilih Gerindra bersama partai-partai politik calon koalisinya untuk menjadi cawapres-nya. Figur itu bisa diterima partai-partai politik calon koalisi, juga dikehendaki rakyat. “Kita diskusi terus dengan partai lain. Kita juga ke rakyat, dengar keinginan rakyat,” tambahnya.
Uji materi
Sementara itu, sidang perdana uji materi syarat calon presiden dan wakil presiden di Mahkamah Konstitusi, telah dilangsungkan pada Senin (14/5/2018) lalu. Setelah sidang itu, hakim MK meminta penggugat untuk memperbaiki gugatannya. Salah satunya, memperkuat dasar gugatan berupa kerugian konstitusional yang dialami penggugat sebagai warga negara akibat adanya pembatasan syarat cawapres tersebut.
“Saat ini, pijakan argumentasi untuk itu sedang disusun ulang. Secara nalar, sudah terbayang. Masyarakat seperti saya perlu berpartisipasi mendorong munculnya kandidat calon yang mumpuni untuk memimpin negara,” kata Hafidz, yang dulu pernah menjadi anggota tim sukses Wakil Presiden Jusuf Kalla pada Pilpres 2009.
Seperti diketahui, belakangan ini muncul dorongan agar Kalla menjadi cawapres Jokowi. Hal itu tampak dari didaftarkannya permohonan uji materi terkait syarat capres/cawapres di Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Pemilihan Umum ke Mahkamah Konstitusi, akhir pekan lalu. Aturan di Pasal 169 huruf (n) dan Pasal 227 huruf (i) tersebut berpotensi menghalangi Kalla menjadi cawapres karena adanya syarat bahwa capres atau cawapres belum pernah menjabat sebagai presiden atau wapres selama dua kali masa jabatan dalam jabatan yang sama. Sementara, Kalla sudah dua kali menjadi wapres, yaitu bersama Presiden Keenam Susilo Bambang Yudhoyono dan sekarang Jokowi.
“Pasal di Undang-Undang Dasar 1945 mengenai ini masih multitafsir. Kami beri kesempatan bagi MK untuk menafsirkan, agar ada kepastian hukum. Toh, dalam beberapa perkara, MK pernah menafsirkan pasal dalam UUD 1945,” kata Hafidz.