JAKARTA, KOMPAS - Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Bupati Bengkulu Selatan Dirwan Mahmud sebagai tersangka suap terkait proyek pembangunan jalan dan jembatan di Bengkulu Selatan. Ini bukan merupakan kasus pertama Dirwan berurusan dengan hukum.
Sebelum berurusan dengan KPK, Dirwan yang saat ini merupakanKetua DPW Partai Perindo Bengkulu pernah mendekam di penjara untuk dua perkara yang berbeda. Pada 1985-1992, Dirwan ditahan di lembaga pemasyarakatan Cipinang karena kasus pengeroyokan yang mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang.
Akibat hal ini, Dirwan yang pernah memenangkan Pilkada 2008 gagal menjadi bupati karena Mahkamah Konstitusi menggugurkannya berdasarkan gugatan lawan politiknya yaitu pasangan Reskan Effendi-Rohidin Mersyah.
Pada 2011-2014, Dirwan kembali menghuni Lembaga Pemasyarakatan Kalianda karena kasus narkoba. Ia ditangkap di Pelabuhan Bakauheni dengan membawa ekstasi pada 4 Januari 2011. Kebebasannya pada 2015 membuatkan kembali ikut dalam Pilkada dan berhasil terpilih.
Pada 2010, ia mengajukan uji materi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemilu, terutama Pasal 58 Huruf f. Ia meminta Mahkamah Konstitusi membatalkan pasal yang mengatur calon kepala daerah tak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan keputusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam pidana penjara lima tahun atau lebih. (Kompas, 19/1/2010).
Terkait dengan uji materi tersebut, di kemudian hari, Tim Investigasi MK menemukan bahwa Dirwan pernah memberikan uang ke salah satu panitera pengganti MK, Makhfud, dan bertemu dengan keluarga salah satu hakim konstitusi. Kasus ini akhirnya berujung pada pengunduran diri Hakim Konstitusi Arsyad Sanusi.
Suap proyek
Selasa lalu, Dirwan ditangkap KPK karena diduga menerima suap senilai Rp 98 juga dari seorang kontraktor bernama Juhari. Pemberian dilakukan lewat istri bupati, Hendrati, dan keponakannya, yang juga Kepala Seksi Dinas Kesehatan Kabupaten Bengkulu Selatan, Nursilawati.
Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan, Rabu (16/5/2018), di Jakarta, mengatakan, uang itu merupakan bagian dari komitmen fee sebesar 15 persen atau setara Rp 112,5 juta dari nilai proyek Rp 750 juta. Persentase itu merupakan setoran ke Dirwan atas lima proyek pengerjaan pembangunan jalan dan jembatan di Dinas Pekerjaan Umum Bengkulu Selatan dengan kesepakatan penunjukan langsung lewat pemecahan paket proyek.
Penerimaan sebesar Rp 98 juta itu diduga bukan yang pertama. Penerimaan diduga terjadi sejak 2017 mengingat besaran komitmen fee 15 persen itu diberlakukan untuk tiap proyek di APBD per tahun.
“KPK mengingatkan kepala-kepala daerah agar amanah mengemban tugasnya dan berupaya memajukan dan menyejahterakan masyarakat. Bukan justru mengambil keuntungan dari jabatannya,” kata Basaria. Selain itu, Basaria mengingatkan pada masyarakat agar cerdas memilih kepala daerah supaya yang terpilih teruji rekam jejaknya.
Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan menjelaskan, sikap permisif masyarakat di daerah hingga kini masih menjadi persoalan. Dalam memilih kepala daerah, masyarakat terkadang tidak memperhatikan sepenuhnya rekam jejak calon. Hal ini salah satunya juga disebabkan oleh putusan MK yang memberi ruang bagi pihak yang bermasalah mencalonkan diri. Terkait dengan hal itu, perlu ada aturan pencalonan yang mengedepankan jejak rekam calon saat akan mengikuti kontestasi.