Guyub dalam Satu Bahasa
Muhammad Yusuf sedang mempersiapkan beberapa piring nasi briyani dan ayam goreng bagi pelanggan yang datang ke warung makan miliknya di kawasan Kampung Madras, Kota Medan. Dia sesekali melirik ke dalam ruangan di bagian belakang warung. Disana anaknya sedang bermain dengan beberapa teman sebayanya. Layaknya anak-anak, tidak jarang mereka saling berteriak satu sama lain. Dengan bahasa Melayu (Indonesia) logat Medan, mereka berkomunikasi satu sama lain. Termasuk dengan teman main yang berasal dari etnis lainnya.
Yusuf sendiri sejatinya memiliki darah Madras, India, tempat asal sang ayah. Menurut Yusuf, ayahnya datang ke Medan mengikuti beberapa kawannya yang diminta salah satu Sultan Deli, kesultanan yang menguasai Sumatera Utara bagian timur, untuk membantunya mengurusi makanan di Istana Maimun, tempat tinggal sang sultan.
Ratusan ribu kuli kontrak didatangkan tidak hanya dari Jawa, tapi hingga ke Semenanjung Malaya, China dan India. Catatan Breman, sejak tahun 1881 hingga 1902, sebanyak 34.596 kuli kontrak asal Jawa, 55.287 kuli asal China, dan 3.529 kuli dari India didatangkan ke Deli.
Setelah menikah dengan sesama warga berdarah Madras, sang ayah kemudian menikah dengan seorang perempuan keturunan Jawa. Yusuf mengikuti jejak sang ayah dengan menikahi seorang perempuan berdarah Jawa.
Dengan anak-anaknya, Yusuf memilih menggunakan bahasa Indonesia. Dengan saudara-saudaranya, sesekali Yusuf masih mencoba menggunakan bahasa Ibu, yaitu bahasa India. Tentu saja dialeknya sudah berubah jauh dari dialek asal. Sedangkan dengan tetangga-tetangganya dia mengaku kebanyakanya menggunakan bahasa Indonesia dengan dialek Medan.
Suhendro, warga Tanjung Morawa di Kabupaten Deli Serdang, memiliki silsilah yang hampir sama dengan Yusuf. Sang ayah mengadu nasib sebagai pekerja di jawatan kereta api, menikahi gadis Melayu. Suhendro, ketika ditanya mengenai asal usulnya, menyatakan kalau dia merupakan warga Jawa-Deli, setengah orang Jawa dan setengah Melayu Deli, meski dalam keseharian dia menggunakan bahasa melayu dialek medan dibandingkan dengan bahasa Jawa. “Bahasa Jawa hanya sikit saja. Itupun bahasa yang kasarnya (ngoko),” kata dia.
Migrasi budaya
Guru Besar Antropologi Universitas Negeri Medan, Usman Pelly, mengatakan, Sumatera Utara menjadi tujuan utama kedatangan migran dari berbagai wilayah di Nusantara dan juga mancanegara sejak tahun 1800-an. Dalam catatannya, terdapat 12 suku di Medan. Medan menjadi tempat membaurnya berbagai suku, dengan ragam budaya dan bahasa yang dibawa dari tempat asal mereka.
Pelly, di dalam bukunya “Urbanisasi dan Adapatasi, Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing di Perkotaan (Casa Mesra Publisher, 2017) menyebutkan, berdasar catatan John Anderson pada tahun 1823, daerah dimana Raja Deli berkuasa terdapat sebuah desa besar yang hanya berpenduduk 200 orang. Kawasan yang dinilai subur dan juga dengan topografi tanah yang datar kemudian membuat “desa besar” ini yang kemudian menjelma menjadi Kota Medan nantinya dilirik oleh para pengusaha perkebunan asal Belanda.
Pemerintah Belanda yang mendominasi Nusantara saat itu menerapkan kebijakan pintu terbuka dengan mendatangkan buruh kontrak atau dikenal dengan sebutan Ordonansi Kuli. Kebutuhan pekerja yang sangat besar membuat mereka mendatangkan para pekerja dari luar pulau Sumatera.
Sosiolog Belanda, Jan Breman, dalam bukunya Menjinakkan Sang Kuli, Politik Kolonial pada Awal Abad ke-20 (Pustaka Utama Grafitti, 1997) menyebutkan, migrasi buruh ke Tanah Deli dimulai sejak kedatangan J Nienhuys, pengusaha asal Belanda, pada tahun 1863. Wilayah yang sebelumnya hutan lebat dia ubah menjadi perkebunan tembakau besar yang membuat nama Deli terkenal ke seluruh dunia.
Ratusan ribu kuli kontrak didatangkan tidak hanya dari Jawa, tapi hingga ke Semenanjung Malaya, China dan India. Catatan Breman, sejak tahun 1881 hingga 1902, sebanyak 34.596 kuli kontrak asal Jawa, 55.287 kuli asal China, dan 3.529 kuli dari India didatangkan ke Deli.
Pelly sendiri mencatat bahwa para pengusaha perkebunan mendatangkan orang-orang Tionghoa dari Penang dan Singapura sejak tahun 1870-an.
Hibrida bahasa
Kedatangan berbagai suku dari Nusantara dan juga migrasi bangsa-bangsa asing membuat Medan menjadi lokasi pembauran dari berbagai kebudayaan. Budaya tidak hanya masalah seni dan sebagainya. Pakaian hingga bahasa menjadi satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan sehari-hari warga Tanah Deli.
Suyadi, peneliti pada Balai Bahasa Sumatera Utara, mengatakan, bahasa yang digunakan oleh masyarakat Medan terbentuk karena pergaulan. Berbeda dengan bahasa Jawa yang terklasifikasi menjadi tiga kelas, yaitu ngoko, madya dan kromo inggil, menurut Suyadi, bahasa Medan terbentuk karena persamaan latar belakang pembentuknya, yaitu kaum pendatang.
“Saat bertemu di pasar, disanalah terjadi dialog yang kemudian menjadi cikal bakal bahasa Melayu khas Medan,” kata dia. Bahasa di pasar yang dikenal sebagai bahasa Melayu rendah ini menyebar dan bisa dipahami oleh semua etnis yang hidup bersama di Medan.
Data Badan Pusat Statistik, berdasarkan etnisitas, penduduk Sumut sangat beragam. Sensus penduduk tahun 2010 mencatat, penduduk dengan latar belakang kesukuan Jawa adalah yang terbesar, dengan 33,4 persen dari 13,5 juta penduduk Sumut. Setelah itu, 22 persen adalah suku Batak Toba; 9,5 persen Suku Mandailing; 7,1 persen suku Nias; 6 persen suku Melayu, 5,5 persen suku Karo, 2,7 persen suku Tionghoa, dan lainnya.
Migrasi yang terjadi pada masa Ordonansi Kuli memang membuat penduduk yang memiliki latar belakang budaya Jawa menjadi dominan. Namun, menurut Suyadi, hal itu tidaklah membuat mereka dominan. “Heterogen, campur. Dalam bahasa yang digunakan ada serapan dari bahasa Arab, Melayu, Jawa dan juga TIonghoa,” kata dia.
Heterogenitas yang tinggi di masyarakat Medan khususnya dan Sumatera Utara pada umumnya membuat mereka lebih terbuka terhadap pendatang dan menerima serta beradaptasi dengan orang-orang baru, bahkan tidak dengan nilai-nilai baru yang dinilai selaras dengan keinginan mereka untuk menjadi daerah yang lebih maju. Di beberapa kalangan yang Kompas jumpai, mereka tidak pernah mempersoalkan individu dari etnis mana yang akan memimpin mereka ke depan pada pemilihan kepala daerah Juni 2018 mendatang.
Jakomson Butar-butar, warga Medan, yang ditemui Kompas mengatakan, selama beberapa kali pemilihan, Sumatera Utara selalu mendapat pemimpin yang bermasalah dengan hukum. Dan bahkan terakhir kali seluruh anggota DPR Provinsi terjerat masalah yang sama, yang melibatkan kepala daerah mereka.
Jakomson, yang sehari-hari berprofesi sebagai pengemudi taksi daring, mengatakan, yang diinginkan dirinya adalah pemimpin yang benar-benar bisa membawa perubahan dalam pemerintahan di Sumatera Utara. Pada saat yang sama dia juga menginginkan ada perubahan yang signifikan dalam kehidupan perekonomian di Sumatera Utara, yang selama ini tidak cuku adil bagi orang-orang kecil.
Dia tidak memermasalahkan latar belakang kesukuan calon pemimpin Sumut di masa yang akan datang. Baginya, salah satu hal yang penting adalah pemimpin tersebut jujur dan mau memberantas korupsi yang sudah mendarah daging di wilayah ini.
Agus Salim, warga Deli Serdang, juga berharap agar praktik korupsi, kolusi dan nepotisme bisa berkurang di Sumut, siapapun yang memimpin. Meski dirinya memiliki darah Jawa, sama seperti Jakomson, dia tidak memikirkan latar belakang etnis calon pemimpin provinsi ini lima tahun ke depan.
Seperti kata Suyadi, mengutip Basil Bernstein, seorang sosiolog Inggris, yang menyatakan, bahwa keberhasilan seseorang atau sekelompok orang untuk ke dalam lingkungan sosial kelompok lain bergantung pada kemampuan mereka mengorganisasikan dan menyerap pesan-pesan lisan maupun tertulis yang berasal dari kelompok tersebut. Siapapun yang bersama rakyat, itulah yang akan menjadi pemenangnya.