Pemberantasan Korupsi Minim Komitmen
JAKARTA, KOMPAS — Upaya pemberantasan korupsi dalam 20 tahun Reformasi ini belum optimal, bahkan terjadi stagnansi dalam dua tahun terakhir apabila menilik indeks persepsi korupsi Indonesia pada tahun 2016 dan 2017. Salah satu hal yang menjadi penyebab adalah minimnya komitmen pihak-pihak terkait dalam pemberantasan korupsi.
Saat ini bahkan yang berkembang adalah korupsi uang negara oleh perwakilan negara itu sendiri, baik melalui badan usahanya maupun aparat penyelenggara negara, baik yang berada di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.
Fenomena State Capture Corruption atau korupsi yang didukung elite-elite politik negara secara sistematis telah melemahkan upaya pemberantasan korupsi itu sendiri. Fenomena itu antara lain tampak dalam kasus korupsi pengadaan proyek kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el) yang melibatkan elite-elite politik, seperti anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan simbol-simbol negara melalui para penyelenggara negara di Kementerian Dalam Negeri. Mereka seharusnya melindungi negara, tetapi pada praktiknya malah menggerogoti negara itu sendiri. Orang-orang yang menjadi simbol negara di eksekutif dan legislatif itu juga berkolaborasi dengan pihak swasta untuk mencuri uang negara.
”Ini adalah fenomena negara mengorupsi negara. Aparat negara, mulai dari kampung hingga pusat, bisa melakukan hal itu. Untuk mengatasi hal ini, KPK tidak bisa sendirian. Diperlukan komitmen kuat dari berbagai pihak untuk bersama-sama melawan korupsi. Sampai hari ini, KPK masih kewalahan dalam memberantas korupsi. Lihat saja ketika kami diperlakukan seperti itu di Komisi III, posisi kami sangat lemah,” kata Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarif, dalam diskusi bertajuk ”Refleksi gerakan Antikorupsi: Menjawab Tantangan 20 Tahun Reformasi”, Jumat (18/5/2018) di Jakarta.
Diskusi yang digelar Transparency International Indonesia (TII) itu dihadiri pula Duta Besar Denmark untuk Indonesia Rasmus Abildgaard Kristensen, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Muhammad Imam Aziz, dan anggota Board TI, Natalia Soebagjo. Moderator diskusi adalah Usman Hamid yang juga anggota Board TII.
Menurut Syarif, ketiadaan komitmen dari pihak-pihak lain itu membuat KPK seolah sendirian berjuang memberantas korupsi. Pihak-pihak lain, termasuk juga yang menjadi perwakilan negara, seperti kepala daerah, ternyata tidak punya kesadaran yang sama atas bahaya korupsi. Para kepala daerah kerap menjadikan slogan antikorupsi sebagai jargon atau bahan kampanye semata untuk meraih simpati publik. Ironisnya, semangat antikorupsi yang dijadikan jargon itu nyatanya amat minim realisasi.
”Buktinya, berapa banyak sih daerah yang menerapkan e-budgetting? Hanya Jakarta atau Surabaya. Lalu, bagaimana dengan daerah-daerah lain? Padahal, e-budgetting itu program pemerintah. Artinya, ini belum ada komitmen yang kuat dari berbagai pihak lainnya untuk merealisasikan antikorupsi. Sistem yang ada saat ini belum mendukung pencegahan dan pemberantasan korupsi karena belum ada kesamaan sikap dan komitmen,” kata Syarif.
Dalam kondisi demikian, upaya pemberantasan korupsi masif belum optimal dilakukan. Skor IPK Indonesia tahun 2017 berdasarkan survei yang dilakukan oleh TI sama dengan tahun sebelumnya (2016) atau stagnan, yaitu berada di angka 37 dalam skala 0-100 dengan 0 dipersepsikan paling korup dan 100 paling bersih. Dengan skor itu, Indonesia berada di urutan ke-96 dari 180 negara. Pada 2016, Indonesia ada di peringkat ke-90 dari 176 negara (Kompas, 23/2/2018).
Berdasarkan data dari Laboratorium Ilmu Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM), tahun 2016, korupsi menimbulkan kerugian negara Rp 203,9 triliun. Kerugian itu timbul dari 2.331 perkara korupsi, dan melibatkan lebih dari 1.000 tersangka korupsi. Data TII juga menunjukkan, ada 54 kepala daerah yang terlibat kasus korupsi sepanjang tahun 2017, dan dalam 10 tahun terakhir tercatat 343 kepala daerah ditangani KPK. Bukan itu saja, keterlibatan wakil rakyat juga mencolok. Selama rentang 2014-2017, ada 74 anggota DPR, 2.545 anggota DPRD provinsi, dan 431 anggota DPRD kota/kabupaten yang menjadi tersangka korupsi.
Sikap permisif
Di sisi lain, sikap permisif publik dan birokrasi terhadap pungutan liar, misalnya pembayaran uang untuk pengurusan izin, dan sejumlah hal lainnya yang terkait dengan kebutuhan dasar warga negara, menurut Syarif, turut memperburuk skor indikator korupsi di Indonesia, utamanya dalam pelayanan publik. ”Pungli-pungli itu di luar korupsi sebenarnya, tetapi itu memengaruhi indeks kita, terutama dalam pelayanan publik,” katanya.
Belajar dari negara-negara lainnya yang memiliki IPK baik, seperti di Skandinavia, indikator pelayanan publik tersebut sangat menentukan. Rasmus menyebutkan, ada empat faktor yang mendukung Denmark dalam pemberantasan korupsi, yakni penegakan hukum, kebebasan pers, kemudahan berusaha, kesejahteraan atau remunerasi yang baik, dan peningkatan pelayanan publik.
Ada 1 persen orang kaya di Indonesia yang menguasai setengah dari total kekayaan negara. Ketimpangan ini sangat mencolok sehingga tidak bisa dimungkiri faktor korupsi atau pencurian uang negara menjadi sesuatu hal krusial untuk diatasi.
Rasmus menekankan penegakan hukum sebagai salah hal yang paling krusial dalam menekan korupsi. ”Aparat penegak hukum Anda, seperti polisi, jaksa, dan hakim, harus bisa dipercaya untuk mendukung pemberantasan dan pencegahan korupsi,” katanya.
Dari sisi yang berbeda, Imam menegaskan, organisasi kemasyarakatan sebagai bagian dari masyarakat sipil terus mendukung KPK dalam kerja-kerja pemberantasan korupsi. PBNU, misalnya, dari sisi keagamaan beberapa kali mengeluarkan fatwa keras terhadap koruptor. Salah satunya yang dikeluarkan saat Musyawarah Nasional (Munas) PBNU di Cirebon, tahun 2012.
”Di dalam Munas itu, kami mengeluarkan fatwa koruptor tidak bisa dishalatkan jenazahnya. Itu merupakan sikap keras kami menentang korupsi. Namun, tampaknya para koruptor itu tidak takut jenazahnya tidak dishalatkan karena praktik korupsi itu terus terjadi,” katanya.
Akar korupsi, menurut Imam, harus diatasi. Rendahnya kesadaran akan bahaya korupsi, dan sikap permisif publik terhadap korupsi harus digerus melalui pendidikan yang masif di sekolah-sekolah. ”Korupsi ini seperti terorisme, yang harus dibasmi sampai ke akar-akarnya,” ujarnya.
Faktor lain yang sejatinya amat berkaitan dengan korupsi adalah ketimpangan. Natalia dari TI mengatakan, tujuan utama pemberantasan korupsi ialah mewujudkan keadilan sosial. Sampai saat ini masih ditemui ketimpangan karena korupsi merajalela.
”Ada 1 persen orang kaya di Indonesia yang menguasai setengah dari total kekayaan negara. Ketimpangan ini sangat mencolok sehingga tidak bisa dimungkiri faktor korupsi atau pencurian uang negara menjadi sesuatu hal yang krusial untuk diatasi,” katanya.