JAKARTA, KOMPAS – Perusahaan milik Bupati Kebumen nonaktif Muhammad Yahya Fuad, yakni PT Putra Ramadhan atau PT Tradha, diduga melakukan tindak pidana pencucian uang dengan cara menyembunyikan atau menyamarkan uang hasil korupsi dan gratifikasi yang diterima oleh Yahya sepanjang tahun 2016-2017. Perusahaan itu diduga telah menjadi tempat pengumpulan uang yang dilakukan oleh Yahya dalam sejumlah kasus korupsi dan gratifikasi yang terlebih dulu disangkakan kepadanya.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan status tersangka dalam kasus pidana pencucian uang kepada PT Tradha. Penetapan sebuah perusahaan sebagai tersangka kasus tindak pidana pencucian uang (TPPU) ini merupakan kali pertama dilakukan oleh KPK.
Lazimnya penetapan tersangka TPPU dikenakan kepada perseorangan atau individu. Namun, kali ini KPK mengoptimalkan ketentuan Pasal 4 dan 5 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU, yang tidak membatasi obyek hukum pidana pencucian uang hanya pada perseorangan, tetapi juga meliputi badan usaha maupun perusahaan.
Wakil Ketua KPK Laode M Syarif dalam keterangan pers, Jumat (18/5/2018) di Jakarta mengatakan, dalam kurun waktu 2016-2017, PT Tradha menggunakan bendera milik 5 perusahaan lain untuk memenangkan delapan proyek di Kabupaten Kebumen dengan nilai total Rp 51 miliar. Penggunaan nama atau bendera perusahaan lain oleh PT Tradha itu dilakukan untuk menutupi kecurigaan adanya potensi konflik kepentingan atau conflict of interest dalam lelang dan pelaksanaan proyek-proyek tersebut. Perbuatan menyembunyikan diri yang berpotensi mengaburkan konflik kepentingan itu telah melanggar Pasal 12 huruf UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
“Dugaan penerimaan suap, gratifikasi, dan benturan kepentingan dalam pengadaan tersebut diduga sebagai tindak pidana asal dalam penyidikan ini atau merupakan predicate crime dalam penyidikan dugaan TPPU dengan tersangka PT Tradha,” kata Syarif.
Berdasarkan ketentuan Pasal 74 UU TPPU, perkara pencucian uang yang diduga dilakukan oleh PT Tradha itu bisa ditangani oleh KPK, karena tindak pidana asalnya adalah korupsi.
Selain menyembunyikan konflik kepentingan pemilik, PT Tradha juga diduga menerima uang dari para kontraktor yang merupakan imbalan jasa atau fee dari pengerjaan proyek-proyek di lingkungan Kabupaten Kebumen selama di bawah kepemimpinan Yahya. PT Tradha menerima sedikitnya Rp 3 miliar dari para kontraktor yang disembunyikan seolah-olah sebagai utang.
Uang-uang yang diperoleh dari fee proyek dan penerimaan gratifikasi serta korupsi lainnya oleh Yahya itu diduga telah tercampur dengan uang operasional perusahaan, maupun dengan hasil keuntungan pengembangan bisnisnya. Pengelolaan keuangan dari berbagai sumber itu secara langsung menguntungkan PT Tradha, dan pada akhirnya digunakan oleh pemilik perusahaan, yakni Yahya, untuk kepentingan pribadi, seperti cicilan mobil, gaji, dan keperluan pribadi lainnya.
Ingatkan perusahaan lain
Pengenaan pasal TPPU kepada perusahaan itu, menurut Syarif, juga didasarkan pada ketentuan di dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 13/2016 tentang Penanganan Perkara Tipikor oleh Korporasi. Pasal 4 Ayat (2) Perma tersebut mengatur, dalam menilai apakah ada kesalahan di dalam korporasi, hakim menimbang tiga hal, yakni apakah korporasi tersebut menerima manfaat dari tindak pidana tersebut, korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana itu, dan korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk mencegah tindak pidana tersebut.
“Perusahaan tidak melakukan pencegahan, bahkan membiarkan tindak pidana itu terjadi. Oleh karena itu, kami ingatkan kepada seluruh pelaku bisnis agar secara serius melakukan langkah-langkah pencegahan menghindari tindak pidana korupsi dan pencucian uang. Karena dengan tidak dilakukannya pencegahan oleh korporasi dapat menjadi unsur penilai kesalahan korporasi,” kata Syarif.
Sejak penyidikan dimulai pada 6 April 2018, PT Tradha telah mengembalikan uang ke kas negara melalui rekening penampungan uang KPK senilai Rp 6,7 miliar. Uang itu diduga merupakan bagian dari keuntungan PT Tradha.
Syarif menegaskan, keberadaan payung hukum berupa Perma itu turut membantu penegak hukum untuk menindak perusahaan nakal yang diduga terlibat korupsi.
“Ke depannya, petugas akan lebih berani menindak perusahaan-perusahaan nakal, karena hukum acaranya sudah ada. Pengenaan TPPU kepada perusahaan yang diduga terlibat dalam korupsi dan pidana pencucian uang diharapkan bisa menjadi upaya optimalisasi pemulihan aset (asset recovery) dari praktik korupsi.
Ke depannya, petugas akan lebih berani menindak perusahaan-perusahaan nakal, karena hukum acaranya sudah ada
Pencabutan izin
Juru Bicara KPK Febri Diansyah menambahkan, hukuman yang bisa dijatuhkan kepada perusahaan bisa berupa denda hingga pencabutan izin sementara atau pencabutan izin seterusnya. Hal itu tergantung kepada putusan hakim.
“Dalam penyidikan TPPU oleh perusahaan, KPK fokus pada pemilik perusahaan, dan juga pihak-pihak pelaksana teknis di lapangan. Mereka yang menjadi pelaksana teknis seperti pimpinan perusahaan, saat ini masih menjadi saksi. Namun, bukti-bukti yang terkumpul saat ini menunjukkan keterlibatan langsung pemilik perusahaan yang sebelumnya juga kami proses dalam perkara suap dan gratifikasi,” kata Febri.
Penetapan perusahaan sebagai tersangka oleh KPK bukan kali ini saja terjadi. Pada kasus korupsi pembangunan dermaga di Sabang, Aceh, misalnya, dua perusahaan telah dijadikan tersangka, yakni PT Nindya Karya dan PT Tuah Sejati.
“Penyidik terus mendalami aturan-aturan internal PT NK dan prosedur-prosedur standar yang ada terkait dengan siapa yang berwenang dan bagaimana pembagian tugas di korporasi dalam penanganan proyek serta kerja sama dengan PT TS,” urai Febri.