JAKARTA, KOMPAS - Komisi Pemberantasan Korupsi masih memiliki pekerjaan rumah untuk melanjutkan perkara yang belum rampung. Salah satu pekerjaan rumah itu adalah menyelesaikan penanganan perkara Bank Century.
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Agus Rahardjo, akhir pekan lalu, menegaskan bahwa KPK telah membuka kembali penanganan kasus Bank Century. KPK menelaah sejumlah nama yang pernah disebut bersama-sama mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia Budi Mulya melakukan penyelewengan terkait fasilitas pendanaan jangka pendek, penentuan bank gagal berdampak sistemik, dan penyertaan modal sementara.
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Agus Rahardjo menegaskan bahwa KPK telah membuka kembali penanganan kasus Bank Century
”Pada putusan (Budi Mulya), baru tiga hal tersebut yang didalami. Saat ini, kami juga menariknya ke proses sebelumnya, yaitu merger. Kami juga memperhatikan siapa saja pelaku bersama-sama dalam sebuah kasus korupsi, karena korupsi tidak mungkin dilakukan sendirian,” kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah, Minggu (20/5/2018), di Jakarta.
Proses merger yang dimaksud terjadi pada 2004. Merger atau penggabungan bank itu terjadi antara Bank Century Intervest Corporation (CIC) milik Robert Tantular dengan Bank Pikko dan Bank Danpac menjadi Bank Century. Kemudian, pada 2009, bank yang berasal dari gabungan tiga bank kecil ini berubah dari Bank Century menjadi Bank Mutiara, lalu menjadi J Trust Bank hingga kini.
Selain itu, ada sejumlah kasus lain yang sedang ditangani KPK, antara lain perkara penerbitan surat keterangan lunas (SKL) terkait Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan perkara pengadaan kartu tanda penduduk elektronik yang menyeret banyak nama.
”Jadi, kami tidak berhenti. Untuk penanganan perkaranya, dilakukan secara bertahap,” kata Febri.
Dalam perkara korupsi BLBI, mengacu pada dakwaan yang dibacakan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada 14 Mei lalu, mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional Syafruddin Arsyad Temenggung itu disebut melakukan tindak kejahatan bersama Dorodjatun Kuntjoro-Jakti yang saat itu menjadi Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK), pemegang saham BDNI Sjamsul Nursalim, dan istrinya, Itjih Nursalim.
Sementara itu, dalam perkara dugaan korupsi proyek pengadaan KTP elektronik di Kementerian Dalam Negeri, Isnu Edhi Wijaya dari Percetakan Negara RI (PNRI) serta Gamawan Fauzi selaku Menteri Dalam Negeri ketika proyek itu berlangsung dan Diah Anggraini yang saat itu menjabat Sekretaris Jenderal Kemendagri disebut bersama-sama. Namun, ada juga penerima aliran dana yang juga dibidik.
Secara terpisah, Koordinator Divisi Investigasi ICW Febri Hendri mengingatkan KPK agar janji untuk menuntaskan perkara ditepati, terlebih lagi KPK tidak dapat menghentikan sebuah perkara.
”Penting bagi KPK untuk benar-benar menangani kasus-kasus yang belum selesai. Ini berkaitan dengan kepercayaan publik juga,” kata Febri Hendri.